Opini
Kebebasan Pers, “Wartawan Berpikir Kritis Tanpa Batas”

Oleh: Mohammad Nasir
Pengantar Redaksi:
Mohammad Nasir adalah Pengajar Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) PWI, dan penguji kompetensi wartawan, Mohammad Nasir menyampaikan materi mata ajar Critical Thinking, di SJI Semarang, Jawa Tengah, 26 Juni 2024. Nasir yang juga Ketua Bidang Pendidikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat menyampaikan materi sebagai berikut:
KEBEBASAN berpikir kritis, dan selalu skeptis adalah satu rangkaian sebagai upaya mencari kebenaran. Kebebasan, termasuk berpikir kritis menjadi hak asasi manusia yang paling hakiki.
Kebebasan atau kemerdekaan secara umum di dalamnya termasuk kebebasan pers dan wartawan berpikir kritis tanpa batas.
Sejauh masih bisa berpikir, pergunakanlah akal sehat bebas berpikir dengan jangkauan luas dan mendalam. Hidup macam apa, kalau berpikir saja takut.
Untuk mengukuhkan kebebasan telah ditegaskan dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
Kebebasan atau kemerdekaan pers selanjutnya ditetapkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Dalam konsiderans UU tentang pers itu disebutkan, kemerdekaan pers diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kemerdekaan pers UU Pers pada Bab II Pasal 2 disebutkan, “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”.
Kemudian di bab yang sama pada pasal 4 ayat 1 dilanjutkan, “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara”.
Dilanjutkan ayat 2 sebagai penegasan: “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
Pada ayat 3 pasal yang sama ditegaskan lagi, “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi”.
Itulah kebebasan pers yang dikuatkan oleh undang-undang. Sebelumnya, kebebasan pers tidak mendapatkan perlindungan hukum.
Atmakusumah, pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo dalam tulisannya (tahun 2014) menjelaskan, keadaan kebebasan pers sebelumnya, seperti ketika surat kabar pertama bernama Bataviaasche Nouvelles en Politique Raisonnementen (Berita dan Penalaran Politik Batavia) yang diterbitkan di Batavia 7 Agustus 1744, kebebasan pers belum mendapatkan jaminan perlindungan hukum berupa undang-undang seperti UU Pers 40/1999.
Sementara Amerika Serikat (AS) pada 15 Desember 1791 sudah mulai menabuh gendrang kebebasan pers melalui pengesahan amandemen pertama konstitusinya.
Kebebasan yang mendasar dalam amandemen pertama konstitusi AS itu berbunyi berbunyi:
Kongres tidak boleh membuat undang-undang yang menghormati pendirian suatu agama, atau melarang pelaksanaan agama secara bebas; atau membatasi kebebasan berpendapat, atau kebebasan pers; atau hak masyarakat untuk berkumpul secara damai, dan mengajukan petisi kepada Pemerintah untuk mengatasi keluhannya. (Congress shall make no law respecting an establishment of religion, or prohibiting the free exercise thereof; or abridging the freedom of speech, or of the press; or the right of the people peaceably to assemble, and to petition the Government for a redress of grievances).
Potongan kata “freedom of speech; or of the press” yang menunjukkan “free press” (pers bebas) bertujuan untuk melindungi penerbitan berita informasi dan pendapat.
Konstitusi yang memperkuat kebebasan pers itu disambut gembira oleh kalangan editor dan penerbit di Amerika Serikat.
Gaungnya terdengar hingga seluruh dunia, termasuk di bumi Nusantara. Meskipun demikian, perkembangan kebebasan pers secara global masih menghadapi tantangan dan hambatan.
Kini kebebasan pers dilaksanakan oleh media berskala luas, berbagai platform (cetak, online, radio, dan televisi).
Kenapa kini masih ada wartawan takut? Takut berpikir bebas, takut berpikir kritis?
Perlu berpikir ulang menekuni profesi wartawan, kalau pikirannya masih terbelenggu oleh berbagai hal yang membuat tidak mampu berpikir kritis.
Selalu Skeptis
Berpikir kritis bertumpu pada sikap yang meragukan terhadap segala hal, menyikapi dengan skeptis terhadap teks, baik pernyataan lisan, tertulis, atau simbol-simbol yang dirancang untuk menyampaikan informasi.
Sikap skeptis atau meragukan menjadi pangkal untuk mencari kebenaran. Kita ingat apa yang dikatakan oleh Rene Descartes (1596- 1650), filsuf Perancis yang menjadi bapak filsafat modern.
Ia mengatakan pernyataan filosofis yang sangat terkenal hingga saat ini, “cogito, ergo sum”, aku berpikir maka aku ada, atau dalam Bahasa Inggrisnya “I think, therefore I am).
Pernyataan filosofis itu dapat ditemukan dalam bukunya Discourse on the Method (1637), dan Principles of Philosophy (1644).
Cogito, ergo sum, mengajarkan untuk selalu meragukan semua hal di segala bidang, dan selanjutnya berpikir secara kritis dan logis untuk mencari kebenaran melalui berbagai sisi.
Selama informasi masih diragukan, wartawan tidak boleh menjadikannya sebagai bahan berita. Kalau masih ragu, tinggalkan (doubt, leave it).
Wartawan dituntut mencari kebenaran informasi melalui daya pikir kritis, melihat dan menggali informasi dari berbagai sisi. Mulai dari melihat lokasi kejadian/pengamatan lapangan sampai wawancara dengan berbagai pihak yang berkompenten.
Untuk mendapatkan informasi yang benar, wartawan harus detil dan berpikir kritis dalam melakukan wawancara.
Wartawan selalu mengejar penjelasan sumber yang belum jelas dan masuk akal. Pertanyaan “mengapa (why)” harus sering diajukan sebagai pertanyaan, selain “apa, kapan, di mana, siapa, dan bagaimana”.
Kesannya wartawan yang berpikir kritis itu menjadi cerewet.
“Wartawan itu cerewet, pengecam, penasihat, pengawas, penguasa dan guru bangsa. Empat surat kabar musuh lebih aku takuti daripada seribu bayonet” demikian kata Napoleon Bonaparte yang tersohor dan dikutip di mana-mana.
Napoleon (1769- 1821), sang kaisar dan komandan militer Perancis menggambarkan wartawan sebagai sosok yang cerewet.
Kecerewetan itu pantulan dari pikiran kritis. Bukan itu bukan ini, tapi yang lain, yang benar. Pikiran kritis digunakan untuk menggali informasi yang benar.
Kebenaran yang diharapkan sesuai nalar sehatnya, bukan kebenaran yang dipaksakan oleh penguasa atau orang lain yang punya kepentingan.
Kebenaran yang dipaksakan oleh penguasa itu seperti yang dipraktikkan dalam kehidupan bermedia di zaman otoritarian awal abad 15 ketika Johannes Gutenberg baru memperkenalkan mesin cetak untuk media di Eropa.
Setelah otoritarian yang menjadikan media sebagai corong penguasa tumbang karena tidak sesuai demokrasi, maka hiduplah masa libertarian.
Bukan Manusia Pasif
Dalam libertarian, manusia tidak lagi dipandang pasif dalam menerima kebenaran. Kebenaran tidak hanya datang dari satu arah, yakni penguasa. Tetapi manusia sebagai sosok rasional berhak mencari kebenaran. Bisa membedakan mana benar dan mana yang tidak.
“Peran media adalah membantu pencarian kebenaran, menolong individu mencari kebenaran. Oleh karena itu, dalam sistem libertarian media bukanlah bagian dari pemerintah, melainkan independen, otonom, dan bebas untuk mengekspresikan gagasan meskipun gagasan tersebut menyakitkan, tanpa merasa takut adanya campur tangan pemerintah,” (Dedy Djamaluddin Malik, Jalaluddin Rakhmat, dan Mohammad Shoelhi (Editor), Komunikasi Internasional, PT Remaja Rosdakarya, 1993).
Sekarang penguasa tidak bisa memaksakan kebenaran versinya sendiri. Kita tahu apa yang terjadi belakangan ini. Ketika Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pernyataan bahwa presiden boleh berkampanye dan berpihak di Pemilihan Umum (Pemilu).
Pernyataan itu disampaikan oleh Jokowi hari Rabu, 24/1/2023 ketika ditanya wartawan seputar kampanye. Begitu pernyataan Jokowi tersebar di media massa dan media sosial, langsung mendapat reaksi media yang bernada mengkritisi. Pernyataan presiden dianggap kurang tepat dan tidak netral.
Media pers pun membantu mencari kebenaran secara kritis dengan mewancarai cendekiawan dan orang-orang yang paham soal undang-undang Pemilu untuk memberi pencerahan pada masyarakat yang sedang bingung dengan pernyataan presiden.
Ternyata yang bereaksi terhadap pernyataan Jokowi, bukan hanya pers, tetapi individu-individu dalam media sosial pun memberi penilaian. Banyak netizen yang menafsirkan Jokowi akan bertindak semau-maunya dalam Pemilu 2024, karena putranya, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon wakil presiden, berpasangan dengan calon presiden Prabowo Subianto.
Jokowi pun kemudian menegaskan, pernyataannya bahwa presiden dan wakil presiden berhak berkampanye sebatas menjelaskan ketentuan yang ada di undang-undang Pemilu. Presiden meminta hal itu tidak diinterpretasikan atau ditarik ke mana-mana (Harian Kompas, 27/1/2024).
Demikianlah kebebasan berpendapat sekarang, kebebasan pers di era 4.0, libertarian yang juga ditandai dengan sistem penyebaran berita menggunakan internet dan bahkan memanfaatkan kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Namun demikian, libertarian di Indonesia dilapisi dengan tanggung jawab sosial yang ditandai dengan kode etik jurnalistik dan undang-undang tentang pers.
Wartawan harus merdeka, independen, tanpa sensor seperti yang disebut dalam Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Sebagai bentuk rasa tanggung jawab sosial, wartawan Indonesia wajib mentaati kode etik jurnalistik (KEJ) dan pedoman-pedoman pemberitaan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers. Terakhir telah disempurnakan dan disahkan pada 16 November 2023 oleh Ketua Dewan Pers Dr Ninik Rahayu, SH, M.S.
Pedoman-pedoman pemberitaan itu adalah Pedoman Pemberitaan Ramah Anak, Pedoman Pemberitaan Media Siber, Pedoman Pemberitaan Keberagaman, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) untuk radio dan televisi, Pedoman Pemberitaan Ramah Disabilitas, Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan, Pedoman hak Jawab, Penerapan hak tolak dan tanggung jawab hukum dalam perkara jurnalistik.
Kebebasan pun kemudian diatur dengan pedoman-pedoman tersebut demi kebaikan bersama dan tanggung jawab sosial.
Dalam KEJ wartawan tidak boleh berbohong, menerima suap dari sumber berita dalam bentuk apapun yang dapat mempengaruhi independensi.
Pers dituntut mampu mem-verifikasi kebenaran informasi dengan menggunakan daya nalar kritisnya, sebelum menjadikan informasi sebagai berita media massa.
Tidak Beropini
Bahkan wartawan tidak boleh beropini, mencampurkan fakta dan opini pribadi. Hal ini juga menuntut wartawan bekerja lebih cermat dan berpikir kritis dalam melihat fakta.
Untuk menghindari opini, jangan menggunakan kata sifat kecuali dengan menunjukkan fakta-faktanya secara memadai. Lebih baik mengganti kata sifat dengan kata kerja dan kata benda yang jelas.
Misalnya kata sifat “kaya”, diganti dengan kata “memiliki 50 rumah masing-masing seharga di atas Rp 5 miliar”, kata “cantik”, diganti dengan kata-kata yang sudah umum dipahami masyarakat, misalnya “hidung mancung, rambutnya berombak”, dan seterusnya.
Sejumlah kata sifat yang perlu dihindari antara lain, hebat, baik, luar biasa, cantik, indah, ramah, mudah, sulit, kotor, segar, buruk, murah, mahal, besar, kecil.
Dengan menguraikan kata sifat, wartawan tidak mudah terjebak dalam permainan kata orang-orang politik. Misalnya, ada yang mengatakan calon wakil presiden A tidak sopan. Kata “tidak sopan” harus dijelaskan atau didiskripsikan dan atau dinarasikan, supaya wartawan tidak ikut beropini.
“Ketika kamu menggunakan kata sifat, kamu akan berisiko menyelipkan opinimu ke dalam cerita,” kata Carole Rich dalam bukunya Writing and Reporting News, A Coaching Methode, Wadsworth Chengage Learning, 2010.
Wartawan dalam kode etik jurnalistik tidak boleh menulis opininya sendiri. Wartawan hanya melaporkan kejadian, dengan keadaan apa adanya dengan sudut pandang yang menarik.
Diskripsi dan Narasi
Dalam berpikir kritis, wartawan diharapkan menjadi lebih teliti dan mampu menyampaikan tulisan-tulisan yang berwarna, menggunakan diskripsi dan narasi.
Dalam menulis feature misalnya, wartawan dituntut mempunyai kemampuan menarasikan suatu kejadian atau keadaan yang dilihatnya sendiri atau berdasarkan interview yang sangat detil.
Narrative writing, suatu tulisan bertutur yang dramatik, merekonstruksi kejadian, untuk mengajak pembaca seakan-akan menjadi saksi atau menyaksikan kejadian yang sedang dituturkan penulis.
Wartawan juga dituntut mampu menyampaikan informasi dengan gaya diskripsi. Walaupun feature ditulis dengan menggunakan diskripsi dan terasa seperti novel, bahan utamanya tetap serangkaian fakta (non-fiction), bukan fiction seperti novel.
Berpikir kritis, skeptis, dan menggali kebenaran dari berbagai dimensi, informasi yang disajikan wartawan akan teruji kebenarannya. Masyarakat yang berhak mendapatkan informasi pun memperoleh informasi yang benar.
- Mohammad Nasir, Ketua Bidang Pendidikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat (Periode 2023- 2028), aktif sebagai anggota Kelompok Kerja Komisi Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Profesi Pers Dewan Pers. Bekerja sebagai Wartawan Harian Kompas (1989- 2018).
- Materi ditulis untuk mata ajar Critical Thinking pada Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI)- PWI Pusat.
Sumber Bacaan:
- Atmakusumah dalam Panduan Jurnalistik Praktis, Mendalami Penulisan Berita dan Feature, Memahami Etika dan Hukum Pers, Penerbit Lembaga Pers Dr Soetomo, 2014).
- Malik, Dedy Djamaluddin, Jalaluddin Rakhmat, dan Mohammad Shoelhi (Editor), Komunikasi Internasional, PT Remaja Rosdakarya, 1993.
- Rich, Carole, Writing and Reporting News, A Coaching Methode, Wadsworth Chengage Learning, 2010.
- Goodwin, H. Eugene, Groping for Ethics in Journalism, Iowa State University Press, USA, 1983.
- Harian Kompas, 27 Januari 2024.
- Hohenberg, John, Free Press, Free People The Best Cause, The Free Press, New York and Collier Macmillan Publishers, London, 1973.
- Undang-Undang No 40/Tahun 1999 tentang pers.
- Pedoman- pedoman pemberitaan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers.***
Opini
Tarif Trump, Biaya Mendominasi

Oleh Ichsanuddin Noorsy*
*Ichsanuddin Noorsy adalah Ekonom yang juga Penasehat Forum Akademisi Indonesia (FAI).
Sekitar 40 tahun lalu, saat Indonesia didikte Amerika Serikat untuk melepas hambatan tarif (tariff barrier) terhadap perdagangan bebas, hampir semua ekonom Indonesia yang dididik Barat dan “kader Washington” mengaminkan anjuran yang memaksa itu.
Argumentasi mereka, sebagaimana argumentasi ekonom AS adalah, perdagangan bebas akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Maka pemerintah harus melepaskan perlindungan dan tidak boleh mendistorsi pasar. Lalu BUMN dan perusahaan domestik jangan menjadi jago kandang.
Tesa mereka berbunyi, biarkan pasar mencari keseimbangan sendiri. “Let the free market play,” begitulah propagandanya, dan semua universitas dan perguruan tinggi di Indonesia menyetujui.
Mata kuliah ekonomi internasional pun menjadi pengajaran bergengsi. Kebijakan ekonomi politik saat itu dikenal dengan sebutan deregulasi dan debirokratisasi. Lahirlah paket kebijakan November 1987 yang menurunkan tarif masuk barang impor. Bahkan pekerjaan Bea Cukai diserahkan ke perusahaan multi nasional asal Perancis bernama SGS (Société Générale de Surveillance).
Menkeu JB Sumarlin pun mengeluarkan gebrakan Paket Oktober 1988, suatu kebijakan yang meliberalkan sektor keuangan dan perbankan. Nilai tukar rupiah mengambang bebas. Hasilnya, Indonesia diserang oleh pasar uang yang memukul rupiah sehingga terjadi krisis multi dimensi 1997/1998. Lalu UUD 1945 pun diganti menjadi UUD 2002, hasil amandemen empat kali.
Banyak yang belum sadar, nilai tukar adalah bagian dari harga diri bangsa.
Setelah Indonesia terpuruk, AS kemudian menerbitkan kebijakan perang melawan teror menyusul peristiwa runtuhnya gedung kembar World Trade Centre pada 11 September 2001.
Justru dengan peristiwa itu AS membangun keyakinan diri bahwa pasar bebas, perdagangan bebas, demokrasi, model pembangunan Barat, dan tegaknya hak asasi manusia patut dicanangkan di seluruh dunia.
Presiden AS ke-43 George Walker Bush menegaskan hal itu pada 17 September 2002 dalam National Security Strategic of USA (Re: Noorsy, Prahara Bangsa, Desember 2024).
Jika kini Presiden AS ke-45 dan ke- 47 Donald Trump dari Partai Republik menerbitkan kebijakan hambatan tarif, maka AS sebenarnya sedang mempertahankan dominasi perekonomian globalnya dan sekaligus menyerang balik 60 negara. Sebenarnya pada 2004 AS sudah merasakan desakan impor dari berbagai negara, khususnya dari RRC.
Kemudian, walaupun sudah mendapatkan kepastian dari Irak, AS merasa tak nyaman tergantung pada pasokan minyak dari Venezuela, Kanada, Kuwait, dan Saudi Arabia.
Pada 2007 AS mengalami defisit perdagangan dengan RRC senilai US$ 267 miliar dan menjadi US$323 miliar pada 2008. Inilah yang menyebabkan krisis keuangan global pada 2008 karena gagal bayarnya Subprime Mortgage. Lagi-lagi semua ekonom mengaminkan bahwa krisis 2008/2009 disebabkan oleh krisis keuangan, tanpa melihat kekalahan perang dagang AS.
Menurut Wall Street Journal, defisit perdagangan AS sudah terjadi sejak 1980. Sementara defisit APBNnya berlangsung sejak 2001. Kebiijakan GW Bush sendiri dipandang telah membangkitkan perlawanan dari musuh-musuh potensial AS, baik secara militer maupun secara ekonomi.
Komite Penyelidik yang dibentuk Obama menyatakan, krisis 2008/2009 disebabkan oleh moral hazard (Re: Noorsy, Moral Hazard Perbankan. Unair, Surabaya, Februari 2011).
Dalam pengajaran saya di berbagai universitas/perguruan tinggi dan di Sekolah Pimpinan Nasional LAN, Sekolah Perwira Tinggi Kepolisian, serta di Sekolah Pendidikan Luar Negeri Kemenlu sejak 2009 hingga 2015 disebutkan bahwa perang dagang telah dimulai sejak Obama mencanangkan American First.
Saat berkuasa, Obama menyatakan muak terhadap Presiden RRC Hu Jintao. Tapi sikap Obama dinyatakan tidak memadai oleh Trump yang menjadi Presiden AS ke-45. Saat itu Trump langsung menyatakan perang dagang, perang nilai tukar, dan perang sistem ekonomi.
Media arus utama Barat melukiskan peperangan ekonomi itu sebagai state capitalism (BUMN) melawan corporate capitalism (korporasi swasta). Lima bulan sebelum Trump menduduki Gedung Putih, serangan Barat terhadap pasar modal Shanghai — yang disebut Black Monday 24 Agustus 2015 — justru membuahkan perlawanan Rusia dan China.
Dua negara ini menanggalkan pemakaian sistem pembayaran SWIFT Code yang menggunakan mata uang dolar AS. Kartu kredit Visa Card disingkirkan kartu kredit RRC, Unionpay. Secara menyeluruh, perang sistem ini dikenal sebagai Sustainable Growth atau Sustainable Development.
Tampak bahwa goal (SDGs) dari Barat yang dikomandoi AS melalui Bank Dunia, IMF dan WTO adalah melawan Belt and Road Inisiative dari RRC beserta negara mitranya. Dalam lingkup kelembagaan, inilah peperangan Bank Dunia bersama ADB melawan New Develoment Bank bersama Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang modal besarnya dari RRC.
Maka dedolarisasi tak terhindarkan. Sementara RRC dan Rusia membuat sistem pembayaran sendiri sambil mengganti dolar (SDGs) AS dengan mata uang bilateral atau mata uang BRICS. Sebelumnya kader Partai Republik Marco Rubio yang saat itu menjabat sebagai Senator dari Florida, menyatakan, AS tidak perlu kecil hati.
Pernyataan ini seirama dengan pemberitaan majalah the Economist 30 Juni 2007, Still No.1, karena AS memiliki kekuatan militer, jumlah APBN yang besar, menguasai pasar minyak dan komoditas strategis, menguasai teknologi informasi dan komunikasi, penentu utama industri makanan cepat saji, dan penguasa industri media serta menjadi kiblat pendidikan.
Tapi perang ekonomi yang dilancarkan Trump era pertama tidak juga membuat AS berhasil mengatasi neraca perdagangannya. Pada titik ini, dimensi perdagangan global berbasis persaingan bebas telah membuat perekonomian AS terhuyung-huyung.
Penguasaan dolar AS sebesar 88,4 persen pada transaksi keuangan internasional, 59,1 persen pada cadangan devisa berbagai negara, 46,5 persen pada SWIFT Code, dan 25,4 persen pada perhitungan PDB Global tidak membuat AS mampu mengatasi kemelut perekonomian nasionalnya.
Kebijakan suku bunga Federal Reserve, inflasi tinggi, dan bantuan sosial melalui paycheck tidak membuat daya beli masyarakat AS membaik, sementara krisis kepemilikan rumah berlangsung bersamaan dengan bencana kebakaran, kebanjiran dan badai tornado yang menimbulkan biaya tinggi. Ketimpangan ekonomi yang tinggi pun terjadi.
Sebagai negara super power perekonomian dunia, Trump melihat bahwa biaya perekonomian nasional AS dan upaya menjaga posisi mendominasi dunia dapat dilakukan antara lain dengan tarif resiprokal.
Di dalam negeri, kendati diprotes berbagai negara bagian dan masyarakat luas, Trump melancarkan efisiensi anggaran dengan memberhentikan jutaan pegawai federal dan negara bagian.
Rasanya Trump akan bertahan dengan sikapnya jika kita belajar dari karakternya sebagai pebinis dan tokoh masyarakat kulit putih AS. Maka 50 negara yang tarifnya dinaikkan mengajukan negosiasi, sementara musuh utamanya, Kanada, Meksiko dan RRC melakukan pembalasan. Artinya, perang ekonomi belum usai.
Bagi Indonesia yang terkena penetapan tarif 32 persen dan ingin menegosiasikan, sebenarnya patut dilihat dalam perspektif risiko dan manfaat. Belajar dari 40 tahun terakhir, jatuhnya nilai tukar dan merupakan nilai tukar terlemah ke lima di dunia memberikan pembelajaran bahwa ada yang salah dalam pemilihan dan pemilahan kebijakan.
Defisit neraca pembayaran bersamaan dengan defisit anggaran menunjukkan surplus neraca perdagangan tidak identik dengan membaiknya makro prudensial (nilai tukar, suku bunga, dan inflasi).
Rentannya makro prudensial ini membuat mikro prudensial selalu berhadapan dengan rendahnya kepastian struktur biaya produksi. Pasar barang (terutama pada barang dan jasa hajat hidup orang banyak) dan pasar uang pasti memengaruhi pasar tenaga kerja. PHK pun terjadi lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah.
Sementara membaiknya nilai ekspor terhadap utang luar negeri dari 123 persen pada 2013 menjadi 130 persen pada 2024 malah menunjukkan ada yang salah dengan struktural perekonomian Indonesia. Penyebabnya adalah deindustrialisasi yang berjalan sejak era SBY hingga saat ini.
Trump sebenarnya sedang mengajarkan kaum teknokrat dan intelektual ultra neoliberal Indonesia bahwa “inward looking” (melihat ke dalam, mengutamakan kepentingan nasional) merupakan hal yang sangat penting untuk memelihara dan menjaga kedaulatan ekonomi.
Penyelamatan ini harus dilakukan bukan hanya dengan menganekaragamkan pasar, atau memperluas pasar. Ada yang lebih penting lagi, yakni memperbaiki kepercayaan sosial, politik dan ekonomi bersamaan dengan mendorong terjadinya inovasi sehingga bangsa ini tidak melulu dijadikan konsumen, atau menjadi budak dan operator atas kemajuan teknologi informas dan komunikasi.
Bangsa Indonesia tetap mempunyai harapan besar untuk bangkit sepanjang bangsa ini setia, tangguh dan teguh mempertahankan janji suci para pendiri republik. Mari berhenti menjadi penjilat dan penghianat karena kita mempunyai kiblat ekonomi sendiri.
Opini
Mercon dan Kembang Api: Kemeriahan Palsu Yang Wajib Dihentikan

Oleh Muhammad Akhyar Adnan*
Kegiatan produksi, penjualan, dan penggunaan mercon, petasan, serta kembang api telah menjadi tradisi yang melekat di masyarakat, terutama saat perayaan seperti Idul Fitri atau Tahun Baru. Namun, di balik kemeriahan sesaat yang ditawarkan, terdapat ancaman serius yang tidak bisa diabaikan lagi.
Sudah saatnya kita membuka mata dan mengambil sikap tegas untuk menghentikan praktik ini demi kebaikan bersama. Berikut adalah alasan mendesak mengapa kegiatan ini harus segera dihentikan.
Pertama, tidak ada dasar hukum. Sebaliknya: melanggar hukum. Secara agama Islam, tidak ada ayat Al-Qur’an atau hadis yang mendukung penggunaan petasan atau kembang api sebagai bagian dari ibadah atau perayaan.
Sebaliknya, MUI DKI Jakarta melalui Fatwa pada 13 Ramadhan 1431 H (23 Agustus 2010) menyatakan bahwa membakar petasan dan kembang api adalah haram karena merupakan pemborosan (tabzir), tidak memiliki manfaat syar’i, dan membahayakan jiwa.
Ini sesuai larangan dalam Surah Al-Isra ayat 26-27: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.”
Muhammadiyah, melalui pendekatan Majelis Tarjihnya, juga menekankan prinsip syariat yang melarang segala bentuk pemborosan dan bahaya. Meski belum ada fatwa nasional spesifik, sikap ini sejalan dengan pandangan bahwa kegiatan dimaksud tidak memiliki landasan agama.
Dari sisi hukum negara, Indonesia telah mengatur larangan ini. Pasal 1 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 melarang kepemilikan bahan peledak, termasuk bahan petasan, tanpa izin resmi. Peraturan Kapolri Nomor 17 Tahun 2017 juga membatasi penggunaan kembang api dan petasan, dengan sanksi pidana bagi pelaku yang melanggar.
Pelanggaran ini bahkan dapat dijerat dengan Pasal 187 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kebakaran atau kematian dengan ancaman hukuman penjara hingga 12 tahun jika mengakibatkan korban jiwa. Jadi, kegiatan ini bukan hanya tanpa dasar hukum, tetapi juga melawan hukum yang berlaku.
Kedua, mudarat besar manfaat nihil. Bahaya dari mercon, petasan, dan kembang api bukan isapan jempol. Setiap tahun korban berjatuhan, baik dari sisi produksi maupun penggunaan.
Pada Maret 2023, ledakan petasan di Kaliangkrik, Magelang, menewaskan seorang pengrajin, melukai tiga orang tetangga, dan merusak belasan rumah. Kejadian serupa terjadi di Banyuwangi pada 2017, ketika sebuah rumah produksi petasan meledak, menewaskan dua orang dan menghancurkan bangunan sekitar.
Anak-anak dan remaja, yang sering menjadi pengguna utama, juga rentan menjadi korban. Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mencatat bahwa selama periode Lebaran 2019, puluhan pasien, mayoritas anak-anak, dirawat akibat luka bakar dan amputasi jari karena petasan.
Secara statistik, meskipun data tahunan nasional belum terdokumentasi secara lengkap, laporan kepolisian dan media menunjukkan tren kerugian yang konsisten. Pada Ramadan 2022, razia polisi di berbagai daerah menyita ribuan petasan ilegal, namun kecelakaan tetap terjadi, termasuk kebakaran rumah di Jakarta akibat percikan petasan.
MUI menegaskan dalam fatwanya bahwa mudharat kegiatan ini jauh lebih besar daripada manfaatnya, bahkan manfaatnya nyaris nihil. Pandangan serupa diamini oleh Muhammadiyah yang selalu mengedepankan prinsip kemaslahatan dan penghindaran bahaya dalam setiap aktivitas.
Ketiga, pemborosan yang menyerupai perbuatan setan. Membakar mercon dan kembang api adalah bentuk pemborosan luar biasa. Jutaan rupiah dihamburkan untuk sesuatu yang hanya berlangsung beberapa detik tanpa meninggalkan jejak manfaat.
Dalam Islam, perbuatan ini disebut tabzir, yang secara eksplisit dikutuk dalam Al-Qur’an, Surah Al-Isra ayat 27. MUI dalam fatwanya menegaskan bahwa pemborosan ini menyerupai perbuatan setan, musuh utama umat manusia.
Muhammadiyah juga kerap mengingatkan umat untuk menggunakan harta ke hal-hal yang lebih produktif dan bermanfaat, seperti sedekah atau pendidikan, ketimbang menghabiskannya untuk hal sia-sia.
Di tengah kemiskinan yang masih melanda sebagian masyarakat, tradisi ini menjadi ironi yang menyakitkan.
Seruan Mendesak untuk Bertindak
Dengan fakta-fakta di atas, kita tidak bisa lagi menunda-nunda tindakan yang diperlukan.
Pertama, sangat mendesak bagi para ulama, termasuk dari MUI dan Muhammadiyah untuk memperkuat fatwa nasional yang tegas menyatakan bahwa produksi, penjualan, dan penggunaan mercon, petasan, dan kembang api adalah haram.
Fatwa MUI DKI Jakarta pada 2010 dan pandangan Muhammadiyah tentang kemaslahatan perlu diseragamkan dan diperluas agar memiliki daya ikat yang lebih kuat di seluruh Indonesia.
Kedua, penegak hukum harus bertindak tegas. Kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan perlu menindak tanpa pandang bulu siapa saja yang terlibat, mulai dari produsen, pedagang, hingga pengguna yang melanggar aturan.
Sanksi pidana harus ditegakkan sebagai efek jera, sebagaimana diamanatkan dalam UU Darurat 12/1951 dan KUHP. Tidak boleh ada toleransi lagi terhadap praktik yang jelas-jelas membahayakan masyarakat.
Produksi, penjualan, dan penggunaan mercon, petasan, dan kembang api adalah musibah yang terselubung dalam kemeriahan palsu.
Tanpa dasar hukum agama maupun negara, penuh mudharat tanpa manfaat, serta merupakan pemborosan yang dilarang keras oleh Al-Qur’an, MUI, dan prinsip Muhammadiyah, kegiatan ini harus segera dihentikan. Nyawa, harta, dan ketertiban masyarakat terlalu berharga untuk dikorbankan demi tradisi yang tidak bermakna.
Mari kita berani mengambil langkah tegas sekarang, sebelum korban berikutnya berjatuhan.
*Muhammad Akhyar Adnan adalah Dosen Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Yarsi.
Opini
Sebagai Tradisi, Perjalanan Tentang Kopi di Lahat

Oleh: Sofie (Penggiat Kopi)
LAHAT SUMSEL, MLCI – Tidak mungkin tulisan ini kumulai dari pada suatu hari bercerita tentang kopi, tapi kenyataannya seperti itu menggali perjalanan tentang kopi. Tradisi minum kopi hitam, pekat yang setelah berjalan waktu tinggal di Bumi Seganti Setungguan, Kabupaten Lahat barulah kuketahui adalah kopi tubruk robusta atau kopi Tupak (sebutan kopi Liberika) yang diseduh tubruk.
Perjalanan mengenal kopi dimulai sekitar pertengahan 2007 di Desa Tanjung Sirih, Kecamatan Pulau Pinang menuju Kompleks Situs Megalith Tanjung Sirih di atas bukit sekitar 400-600 MDPL, bersama Hamli (65 th) ketika itu sebagai juru pelihara (Jupel) situs. Menaiki tebing batu curam, lembab, hutan hujan tropis, dipenuhi batang kopi yang rimbun yang sebagian sudah dipanen. Ketika itu harga per kg kopi Rp 12.000 – Rp 18.000.
Suplai makanan di perjalanan habis, pulangnya kami singgah di rumah panggung Hamli. Di dapur yang belum lama ngirou (roasting kopi) kami mencicipi kopi yang kecoklatan, bersama ubi goreng.
“Minum kopi saat hujan seperti ini membantu menghangatkan tubuh. Supaya tidak masuk angin,” ujar Hamli yang bercerita pada penulis.
Kopi yang diseduhnya tidak menyebabkan asam lambung, menghangatkan tubuh. Kami baru tahu dengan takaran pas menambahkan jahe jadi pelepas masuk angin.
Sekitar tahun 2011 di awal Januari, penulis mengunjungi Desa Sumur, Kecamatan Pajar Bulan yang terpampang panorama kaki Gunung Dempo. Sekitar pukul 06.30 warung kopi dan gorengan yang ada sudah ramai bapak-bapak minum kopi di warung, dan makan gorengan. Di sebelah warung tempat penggilingan kopi. Harga 500 gr kopi bubuk kala itu Rp 30.000.
“Sehari kami ngopi paling sedikit tiga kali. Berbarengan dengan selesai sarapan, makan siang dan makan malam. Capek di Ladang sirna setelah ngopi,” cerita Putra (40 th) seorang warga yang mengantar penulis ke Situs Bilik Batu di Kecamatan Pajar Bulan.
Ketika itu penulis mulai merasakan perbedaan citarasa kopi, pada tiap daerah berbeda. Lahat Punya 24 Kecamatan, 360 Desa, 17 Kelurahan. Masing-masing punya khas tersendiri citarasa kopi dan campuran yang menjadi blend kopi seduhan mereka.
Pada peristiwa banjir bandang di Cughup Buluh (Air Terjun Buluh) di Desa Lubuk Selo, Kecamatan Gumay Ulu. Peristiwa banjir sekitar Februari 2016, selesai bersama Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di desa tersebut kami singgah di warung kopi yang dikelola warga dan Pokdarwis di lahan sekitar 1.8 hektar dengan pemandangan air terjun dan sungai.
Ditemani Ahmad Yaumal Ketua Pokdarwis yang kini merupakan Kepala Desa Lubuk Selo. Mengalir cerita legenda setempat dan tradisi kopi. Penulis banyak berbincang dengan pemilik warung kopi, dirinya menyeduh kopi yang digoreng nya dicampur sedikit kacang tanah. Mengingatkan penulis pada Hazelnut Coffee di kafe terkenal yang dibanderol pergelasnya cukup mahal.
“Campuran beras, atau campuran jahe dan kacang tidak banyak. Tapi pas, kita tau pas sebab sudah dari turun temurun diajari orang tua kami membuat kopi,” jelas Yaumal.
Mungkin cerita-cerita menarik tentang kopi dari 360 desa di Laha. Yang sudah 80 persen disinggahi penulis, terurai sebagai tradisi turun temurun yang tentu ada perbedaan atau mungkin sama.
Menarik garis lurus dengan perbincangan bersama Bupati Lahat H Bursah Zarnubi SE tentang Kopi Lahat, dengan penulis. Ketertarikan akan pengembangan potensi perkebunan kopi yang menjadi pemasok terbesar di Sumatera Selatan (Sumsel) dan pemasok terbesar di Indonesia juga.
“Kopi Lahat itu punya potensi besar. Kita butuh ahli perkebunan kopi, hingga peracik kopi,” ungkap Bursah Zarnubi yang penikmat kopi.
Dirinya paham potensi terbesar ada pada Robusta di angka 80 persen, Kopi Arabika 10-15 persen dan hanya 5 persen untuk Kopi Liberika. Bursah juga mengharapkan dari 50 UMKM unggulan nantinya ada produk Kopi Lahat.
“Investor itu mencari Kopi Liberika, rupanya sangat sedikit potensi nya dari 54 ribu hektar kebun kopi di Kabupaten Lahat,” jelas Bursah Zarnubi.
Industri kopi Indonesia saat ini makin pesat. Lahan tidur yang tidak tertata di Kabupaten Lahat masih banyak. Potensi besar menanti dari hulu hingga ke hilir. Apalagi didukung dengan praktek pengelolaan kopi yang baik dari hulu hingga industri hilir kopi. Hanya saja harapannya tidak menghilangkan tradisi yang mengakar pada seduhan kopi juga dalam tampilannya.***
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
4 Pria dan 1 Wanita Terduga Pelaku Narkoba Diringkus Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Team Tiger Polres Lahat Kembali Tangkap Terduga Pembunuhan
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Dua Pasal Hukum, Dodo Arman Ditangkap Kasat Reskrim Polres Lahat
-
Peristiwa4 tahun ago
Pelajar Alami Kecelakaan di Perlintasan Kereta Api Depan SMKN 2 Lahat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Hampir Dua Bulan Buron, Pembacok Diciduk Tim Satreskrim Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Langgar Aturan, Oknum Polres Lahat Diberhentikan Tidak Hormat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Komplotan Pelaku Narkoba Lahat Tengah Berhasil Ditangkap Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Soal Pembunuhan di Kikim Tengah, Pengacara Korban Angkat Bicara