Opini
Interpretasi Keliru Terhadap Resolusi Majelis Umum PBB 2758 Harus Diwaspadai

Oleh John Chen, adalah Kepala Perwakilan Kantor Perdagangan dan Ekonomi Taipei (TETO) di Indonesia.
Taiwan memohon kepada Indonesia dan komunitas internasional untuk waspada terkait kesalahan interpretasi Tiongkok terhadap United Nations General Assembly Resolution 2758 (Resolusi Majelis Umum PBB 2758) guna menjamin keamanan di Selat Taiwan dan perdamaian regional.
Taiwan juga menyerukan kepada semua lapisan masyarakat di Indonesia dan komunitas internasional untuk menghadapi dan membantah upaya Tiongkok yang salah menafsirkan United Nations General Assembly Resolution 2758 dan menyamakannya dengan “One China Principal” (Prinsip Satu China).
Indonesia dan Taiwan sendiri adalah negara yang menghormati demokrasi, supremasi hukum, kebebasan dan hak asasi manusia. Sebagai anggota yang bertanggung jawab dalam demokrasi global, Taiwan telah lama berada di garis depan melawan perluasan otoritarianisme.
Dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok berulang kali salah menafsirkan United Nations General Assembly Resolution 2758 dan secara tidak tepat mengaitkan dengan “One China Principle”.
Tujuannya tidak hanya untuk membatasi dan mengecualikan Taiwan dari partisipasi dalam organisasi internasional, tetapi juga menggunakan resolusi tersebut sebagai senjata dan mengglobalkan “One China Principle” untuk memaksa negara lain menerima klaim politik, merusak tatanan internasional, serta membangun dasar hukum menggunakan kekerasan untuk menyerang Taiwan di masa depan.
Pada 29 April 2024, Mark Baxter Lambert, Deputi Asisten Sekretaris Biro Asia Timur dan Pasifik Departemen Luar Negeri AS, menjelaskan empat poin posisi AS terhadap United Nations General Assembly Resolution 2758 di German Marshall Fund, sebuah lembaga think-tank di Washington, D.C., yaitu resolusi tersebut tidak mendukung, tidak setara, dan tidak mencerminkan konsensus Tiongkok terhadap “One China Principle.
Selain itu juga tidak mempengaruhi keputusan berdaulat yang dibuat oleh berbagai negara mengenai hubungan dengan Taiwan; tidak merupakan posisi resmi PBB mengenai status politik Taiwan; dan tidak mengecualikan partisipasi Taiwan dalam sistem PBB dan organisasi multilateral lainnya.
United Nations General Assembly Resolution 2758 hanya menentukan atribusi perwakilan Tiongkok di PBB. Taiwan tidak disebutkan dalam keseluruhan teks dan tidak mengakui Taiwan sebagai bagian dari Republik Rakyat Tiongkok, apalagi mengesahkan Republik Rakyat Tiongkok untuk mewakili Taiwan di PBB, sehingga resolusi tersebut tidak ada hubungan dengan Taiwan.
Tiongkok terus memperluas kesalahan tafsir United Nations General Assembly Resolution 2758 untuk menekan partisipasi Taiwan dalam berbagai forum internasional dan telah keliru mengklaim dalam berbagai kesempatan bahwa resolusi tersebut merupakan dasar hukum kedaulatan Beijing atas Taiwan. Pernyataan tersebut sepenuhnya bertentangan dengan fakta.
Saat ini banyak negara mengkritik Tiongkok karena sengaja memutarbalikkan interpretasi United Nations General Assembly Resolution 2758. Sebagai contoh pada 2021, Rick Waters yang saat itu menjabat sebagai Deputi Asisten Sekretaris, Biro Asia Timur dan Pasifik, Departemen Luar Negeri AS mengkritik Tiongkok karena salah mengutip United Nations General Assembly Resolution 2758 dan menekan PBB untuk mencegah partisipasi Taiwan.
Pada Juli 2023, Dewan Perwakilan Rakyat AS mengesahkan undang-undang “Taiwan International Solidarity Act” dan dengan jelas menyatakan bahwa United Nations General Assembly Resolution 2758 hanya menangani masalah keterwakilan Tiongkok dan tidak melibatkan Taiwan.
Pada Januari tahun 2024 setelah pemilu Taiwan, Laura Rosenberger, Ketua American Institute in Taiwan, ketika mengunjungi Taiwan juga menjelaskan bahwa resolusi Majelis Umum PBB yang disebutkan di atas tidak mengambil keputusan mengenai status Taiwan, tidak mengecualikan negara manapun dari membangun hubungan diplomatik dengan Taiwan, dan tidak mengecualikan Taiwan dari partisipasi dalam sistem PBB.
Selain itu, dalam laporan “EU-China Relations” yang disahkan pada Desember 2023, Parlemen Eropa untuk pertama kalinya menentang distorsi berkelanjutan Tiongkok terhadap United Nations General Assembly Resolution 2758.
Pada laporan implementasi tahunan Uni Eropa “Common Foreign and Security Policy” yang disahkan pada Februari 2024 menegaskan bahwa baik Taiwan maupun Tiongkok tidak di bawah satu sama lain dan hanya pemerintah Taiwan yang dipilih secara demokratis yang dapat mewakili rakyat Taiwan secara internasional.
Taiwan adalah negara yang berdaulat dan merdeka serta tidak berafiliasi dengan Republik Rakyat Tiongkok. Hanya pemerintah Taiwan yang dipilih secara demokratis yang dapat mewakili 23,5 juta penduduk Taiwan secara internasional. Republik Rakyat Tiongkok tidak pernah memerintah Taiwan dan Taiwan jelas bukan bagian dari Republik Rakyat Tiongkok.
Ini juga merupakan status quo Selat Taiwan serta merupakan fakta objektif yang diakui secara internasional. Menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain dan berpartisipasi dalam organisasi internasional adalah hak sah seluruh rakyat Taiwan, dan Republik Rakyat Tiongkok tidak berhak mencampuri atau membatasi mereka.
Tiongkok secara keliru mengklaim bahwa 183 negara di seluruh dunia telah menjalin hubungan diplomatik dengan Tiongkok berdasarkan “One China Principle”. Kenyataannya, hanya 57 negara yang dengan jelas menyatakan bahwa mereka mengadopsi “One China Principle”, dan mayoritas negara besar seperti Indonesia dan Amerika Serikat mengadopsi “One China Policy” mereka sendiri.
Fakta ini sepenuhnya membuktikan bahwa apa yang disebut “One China Principle” oleh Tiongkok sama sekali bukan konsensus umum masyarakat internasional, apalagi menjadi norma dasar hubungan internasional atau hukum kebiasaan internasional.
Dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok secara sepihak terus mengubah status quo di Selat Taiwan melalui ancaman militer, disinformasi, strategi zona abu-abu, pemaksaan ekonomi, dan menghalangi partisipasi internasional Taiwan. Hal ini telah merusak perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan serta keamanan dan kemakmuran regional.
Contoh spesifik dari metode politik Tiongkok untuk merusak perdamaian di Selat Taiwan yaitu: setelah Presiden Tsai menjabat pada tahun 2016, Tiongkok secara sepihak memutus mekanisme dialog dan komunikasi yang dibangun kedua pihak di Selat Taiwan sejak 1993, serta menuntut Taiwan untuk menerima “The 1992 Consensus on One China Principal” dan sepenuhnya menekan peluang interaksi lintas Selat
Pada tahun 2020, Tiongkok secara sepihak menyatakan bahwa Selat Taiwan dan perairan 10 mil di lepas pantai timur Taiwan akan ditetapkan sebagai laut teritorial Tiongkok, dan melakukan intersepsi berbahaya terhadap kapal perang AS dan Kanada yang melintasi Selat Taiwan dalam upaya memperkecil Selat Taiwan.
Pada 2024, tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan Taiwan, Tiongkok mengumumkan pembatalan rute penerbangan M503 dari utara ke selatan dan tanpa izin mengaktifkan rute penerbangan W122 dan W123 dari barat ke timur yang meningkatkan risiko keselamatan penerbangan regional.
Selain itu, sejak 2016, pesawat militer Tiongkok sering berpatroli di sekitar pulau dan melancarkan serangan gangguan di “Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ)” barat daya Taiwan, kapal militer Tiongkok berpatroli di Selat Taiwan.
Selain itu, pesawat serta kapal militer Tiongkok menormalisasi penyeberangan Selat Taiwan dan garis median Selat Taiwan dengan maksud menguasai wilayah udara dan laut Selat Taiwan.
Dari tahun 2022 hingga 2023, Tiongkok mengambil kesempatan untuk melakukan latihan militer dan patroli kesiapan tempur di sekitar Taiwan dan meluncurkan rudal di atas pulau utama Taiwan. Jelas sekali bahwa Tiongkok bermaksud menggunakan pemaksaan militer untuk mengubah status quo Selat Taiwan dan merusak perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan.
Tiongkok juga berupaya mengancam Taiwan melalui pemaksaan ekonomi, termasuk melakukan latihan militer dan patroli di Selat Taiwan dengan tujuan mengganggu transportasi laut dan udara Taiwan.
Hal ini sangat mempengaruhi operasi normal penerbangan dan kapal Taiwan serta internasional, melanggar prosedur normal perdagangan internasional, dan secara sepihak menangguhkan ekspor produk pertanian dan perikanan Taiwan ke Tiongkok.
Sebagai anggota komunitas internasional yang bertanggung jawab dan mempunyai kekuatan untuk kebaikan bersama, Pemerintah Taiwan telah berulang kali menyatakan secara terbuka komitmen untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan.
Tetapi dalam beberapa tahun terakhir Tiongkok terus meningkatkan intimidasi militer dan pemaksaan ekonomi terhadap Taiwan dan negara-negara di kawasan yang sepenuhnya menunjukkan sifat otoriter Tiongkok.
Padahal, perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan tidak hanya berdampak pada keamanan dan kemakmuran kawasan Indo-Pasifik, tetapi juga memainkan peran penting dalam rantai pasokan global. Secara khusus, Taiwan memiliki klaster industri semikonduktor terlengkap di dunia.
Lebih dari 60 persen chip dan 92 persen chip tercanggih diproduksi di Taiwan. Jika Tiongkok menginvasi Taiwan dengan paksa, maka akan menyebabkan kerugian ekonomi global yang sangat besar, yaitu lebih dari 10 triliun dolar AS atau sekitar 10 persen dari total GDP global.
Skala kerugian akan lebih besar daripada perang Rusia-Ukraina dan pandemi Covid-19. Di sisi lain, Selat Taiwan adalah jalur penting transportasi laut dan udara global. Lebih dari 40 persen kargo maritim global melewati Selat Taiwan.
Setiap tahun, sekitar 2 juta penerbangan dan 72 juta penumpang lepas landas, mendarat dan transfer di “Taipei Flight Information Region (Taipei FIR)” yang berada di bawah tanggung jawab Taiwan. Selain itu, jumlah warga negara asing yang saat ini tinggal di Taiwan melebihi 860.000 orang, termasuk diantaranya sekitar 400.000 orang warga negara Indonesia.
Jika Tiongkok menginvasi Taiwan dengan paksa, maka akan merugikan masyarakat di seluruh dunia, terutama akan sulit menjamin keselamatan 400.000 orang warga negara Indonesia yang berada di Taiwan. Pada saat yang sama, hal ini akan berdampak serius pada arus transportasi laut dan udara serta perdagangan di kawasan Indo-Pasifik dan global.
Jika Tiongkok menggunakan kekerasan terhadap Taiwan, maka tatanan internasional yang liberal dan demokratis berbasis aturan akan hancur, dan perdamaian serta stabilitas regional tidak akan terjaga.
Pada saat yang sama Taiwan dengan tegas menentang upaya sepihak penghancuran status quo di Selat Taiwan dan menekankan pentingnya perdamaian dan stabilitas di wilayah itu bagi kepentingan semua negara.***
Opini
Tarif Trump, Biaya Mendominasi

Oleh Ichsanuddin Noorsy*
*Ichsanuddin Noorsy adalah Ekonom yang juga Penasehat Forum Akademisi Indonesia (FAI).
Sekitar 40 tahun lalu, saat Indonesia didikte Amerika Serikat untuk melepas hambatan tarif (tariff barrier) terhadap perdagangan bebas, hampir semua ekonom Indonesia yang dididik Barat dan “kader Washington” mengaminkan anjuran yang memaksa itu.
Argumentasi mereka, sebagaimana argumentasi ekonom AS adalah, perdagangan bebas akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Maka pemerintah harus melepaskan perlindungan dan tidak boleh mendistorsi pasar. Lalu BUMN dan perusahaan domestik jangan menjadi jago kandang.
Tesa mereka berbunyi, biarkan pasar mencari keseimbangan sendiri. “Let the free market play,” begitulah propagandanya, dan semua universitas dan perguruan tinggi di Indonesia menyetujui.
Mata kuliah ekonomi internasional pun menjadi pengajaran bergengsi. Kebijakan ekonomi politik saat itu dikenal dengan sebutan deregulasi dan debirokratisasi. Lahirlah paket kebijakan November 1987 yang menurunkan tarif masuk barang impor. Bahkan pekerjaan Bea Cukai diserahkan ke perusahaan multi nasional asal Perancis bernama SGS (Société Générale de Surveillance).
Menkeu JB Sumarlin pun mengeluarkan gebrakan Paket Oktober 1988, suatu kebijakan yang meliberalkan sektor keuangan dan perbankan. Nilai tukar rupiah mengambang bebas. Hasilnya, Indonesia diserang oleh pasar uang yang memukul rupiah sehingga terjadi krisis multi dimensi 1997/1998. Lalu UUD 1945 pun diganti menjadi UUD 2002, hasil amandemen empat kali.
Banyak yang belum sadar, nilai tukar adalah bagian dari harga diri bangsa.
Setelah Indonesia terpuruk, AS kemudian menerbitkan kebijakan perang melawan teror menyusul peristiwa runtuhnya gedung kembar World Trade Centre pada 11 September 2001.
Justru dengan peristiwa itu AS membangun keyakinan diri bahwa pasar bebas, perdagangan bebas, demokrasi, model pembangunan Barat, dan tegaknya hak asasi manusia patut dicanangkan di seluruh dunia.
Presiden AS ke-43 George Walker Bush menegaskan hal itu pada 17 September 2002 dalam National Security Strategic of USA (Re: Noorsy, Prahara Bangsa, Desember 2024).
Jika kini Presiden AS ke-45 dan ke- 47 Donald Trump dari Partai Republik menerbitkan kebijakan hambatan tarif, maka AS sebenarnya sedang mempertahankan dominasi perekonomian globalnya dan sekaligus menyerang balik 60 negara. Sebenarnya pada 2004 AS sudah merasakan desakan impor dari berbagai negara, khususnya dari RRC.
Kemudian, walaupun sudah mendapatkan kepastian dari Irak, AS merasa tak nyaman tergantung pada pasokan minyak dari Venezuela, Kanada, Kuwait, dan Saudi Arabia.
Pada 2007 AS mengalami defisit perdagangan dengan RRC senilai US$ 267 miliar dan menjadi US$323 miliar pada 2008. Inilah yang menyebabkan krisis keuangan global pada 2008 karena gagal bayarnya Subprime Mortgage. Lagi-lagi semua ekonom mengaminkan bahwa krisis 2008/2009 disebabkan oleh krisis keuangan, tanpa melihat kekalahan perang dagang AS.
Menurut Wall Street Journal, defisit perdagangan AS sudah terjadi sejak 1980. Sementara defisit APBNnya berlangsung sejak 2001. Kebiijakan GW Bush sendiri dipandang telah membangkitkan perlawanan dari musuh-musuh potensial AS, baik secara militer maupun secara ekonomi.
Komite Penyelidik yang dibentuk Obama menyatakan, krisis 2008/2009 disebabkan oleh moral hazard (Re: Noorsy, Moral Hazard Perbankan. Unair, Surabaya, Februari 2011).
Dalam pengajaran saya di berbagai universitas/perguruan tinggi dan di Sekolah Pimpinan Nasional LAN, Sekolah Perwira Tinggi Kepolisian, serta di Sekolah Pendidikan Luar Negeri Kemenlu sejak 2009 hingga 2015 disebutkan bahwa perang dagang telah dimulai sejak Obama mencanangkan American First.
Saat berkuasa, Obama menyatakan muak terhadap Presiden RRC Hu Jintao. Tapi sikap Obama dinyatakan tidak memadai oleh Trump yang menjadi Presiden AS ke-45. Saat itu Trump langsung menyatakan perang dagang, perang nilai tukar, dan perang sistem ekonomi.
Media arus utama Barat melukiskan peperangan ekonomi itu sebagai state capitalism (BUMN) melawan corporate capitalism (korporasi swasta). Lima bulan sebelum Trump menduduki Gedung Putih, serangan Barat terhadap pasar modal Shanghai — yang disebut Black Monday 24 Agustus 2015 — justru membuahkan perlawanan Rusia dan China.
Dua negara ini menanggalkan pemakaian sistem pembayaran SWIFT Code yang menggunakan mata uang dolar AS. Kartu kredit Visa Card disingkirkan kartu kredit RRC, Unionpay. Secara menyeluruh, perang sistem ini dikenal sebagai Sustainable Growth atau Sustainable Development.
Tampak bahwa goal (SDGs) dari Barat yang dikomandoi AS melalui Bank Dunia, IMF dan WTO adalah melawan Belt and Road Inisiative dari RRC beserta negara mitranya. Dalam lingkup kelembagaan, inilah peperangan Bank Dunia bersama ADB melawan New Develoment Bank bersama Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang modal besarnya dari RRC.
Maka dedolarisasi tak terhindarkan. Sementara RRC dan Rusia membuat sistem pembayaran sendiri sambil mengganti dolar (SDGs) AS dengan mata uang bilateral atau mata uang BRICS. Sebelumnya kader Partai Republik Marco Rubio yang saat itu menjabat sebagai Senator dari Florida, menyatakan, AS tidak perlu kecil hati.
Pernyataan ini seirama dengan pemberitaan majalah the Economist 30 Juni 2007, Still No.1, karena AS memiliki kekuatan militer, jumlah APBN yang besar, menguasai pasar minyak dan komoditas strategis, menguasai teknologi informasi dan komunikasi, penentu utama industri makanan cepat saji, dan penguasa industri media serta menjadi kiblat pendidikan.
Tapi perang ekonomi yang dilancarkan Trump era pertama tidak juga membuat AS berhasil mengatasi neraca perdagangannya. Pada titik ini, dimensi perdagangan global berbasis persaingan bebas telah membuat perekonomian AS terhuyung-huyung.
Penguasaan dolar AS sebesar 88,4 persen pada transaksi keuangan internasional, 59,1 persen pada cadangan devisa berbagai negara, 46,5 persen pada SWIFT Code, dan 25,4 persen pada perhitungan PDB Global tidak membuat AS mampu mengatasi kemelut perekonomian nasionalnya.
Kebijakan suku bunga Federal Reserve, inflasi tinggi, dan bantuan sosial melalui paycheck tidak membuat daya beli masyarakat AS membaik, sementara krisis kepemilikan rumah berlangsung bersamaan dengan bencana kebakaran, kebanjiran dan badai tornado yang menimbulkan biaya tinggi. Ketimpangan ekonomi yang tinggi pun terjadi.
Sebagai negara super power perekonomian dunia, Trump melihat bahwa biaya perekonomian nasional AS dan upaya menjaga posisi mendominasi dunia dapat dilakukan antara lain dengan tarif resiprokal.
Di dalam negeri, kendati diprotes berbagai negara bagian dan masyarakat luas, Trump melancarkan efisiensi anggaran dengan memberhentikan jutaan pegawai federal dan negara bagian.
Rasanya Trump akan bertahan dengan sikapnya jika kita belajar dari karakternya sebagai pebinis dan tokoh masyarakat kulit putih AS. Maka 50 negara yang tarifnya dinaikkan mengajukan negosiasi, sementara musuh utamanya, Kanada, Meksiko dan RRC melakukan pembalasan. Artinya, perang ekonomi belum usai.
Bagi Indonesia yang terkena penetapan tarif 32 persen dan ingin menegosiasikan, sebenarnya patut dilihat dalam perspektif risiko dan manfaat. Belajar dari 40 tahun terakhir, jatuhnya nilai tukar dan merupakan nilai tukar terlemah ke lima di dunia memberikan pembelajaran bahwa ada yang salah dalam pemilihan dan pemilahan kebijakan.
Defisit neraca pembayaran bersamaan dengan defisit anggaran menunjukkan surplus neraca perdagangan tidak identik dengan membaiknya makro prudensial (nilai tukar, suku bunga, dan inflasi).
Rentannya makro prudensial ini membuat mikro prudensial selalu berhadapan dengan rendahnya kepastian struktur biaya produksi. Pasar barang (terutama pada barang dan jasa hajat hidup orang banyak) dan pasar uang pasti memengaruhi pasar tenaga kerja. PHK pun terjadi lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah.
Sementara membaiknya nilai ekspor terhadap utang luar negeri dari 123 persen pada 2013 menjadi 130 persen pada 2024 malah menunjukkan ada yang salah dengan struktural perekonomian Indonesia. Penyebabnya adalah deindustrialisasi yang berjalan sejak era SBY hingga saat ini.
Trump sebenarnya sedang mengajarkan kaum teknokrat dan intelektual ultra neoliberal Indonesia bahwa “inward looking” (melihat ke dalam, mengutamakan kepentingan nasional) merupakan hal yang sangat penting untuk memelihara dan menjaga kedaulatan ekonomi.
Penyelamatan ini harus dilakukan bukan hanya dengan menganekaragamkan pasar, atau memperluas pasar. Ada yang lebih penting lagi, yakni memperbaiki kepercayaan sosial, politik dan ekonomi bersamaan dengan mendorong terjadinya inovasi sehingga bangsa ini tidak melulu dijadikan konsumen, atau menjadi budak dan operator atas kemajuan teknologi informas dan komunikasi.
Bangsa Indonesia tetap mempunyai harapan besar untuk bangkit sepanjang bangsa ini setia, tangguh dan teguh mempertahankan janji suci para pendiri republik. Mari berhenti menjadi penjilat dan penghianat karena kita mempunyai kiblat ekonomi sendiri.
Opini
Mercon dan Kembang Api: Kemeriahan Palsu Yang Wajib Dihentikan

Oleh Muhammad Akhyar Adnan*
Kegiatan produksi, penjualan, dan penggunaan mercon, petasan, serta kembang api telah menjadi tradisi yang melekat di masyarakat, terutama saat perayaan seperti Idul Fitri atau Tahun Baru. Namun, di balik kemeriahan sesaat yang ditawarkan, terdapat ancaman serius yang tidak bisa diabaikan lagi.
Sudah saatnya kita membuka mata dan mengambil sikap tegas untuk menghentikan praktik ini demi kebaikan bersama. Berikut adalah alasan mendesak mengapa kegiatan ini harus segera dihentikan.
Pertama, tidak ada dasar hukum. Sebaliknya: melanggar hukum. Secara agama Islam, tidak ada ayat Al-Qur’an atau hadis yang mendukung penggunaan petasan atau kembang api sebagai bagian dari ibadah atau perayaan.
Sebaliknya, MUI DKI Jakarta melalui Fatwa pada 13 Ramadhan 1431 H (23 Agustus 2010) menyatakan bahwa membakar petasan dan kembang api adalah haram karena merupakan pemborosan (tabzir), tidak memiliki manfaat syar’i, dan membahayakan jiwa.
Ini sesuai larangan dalam Surah Al-Isra ayat 26-27: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.”
Muhammadiyah, melalui pendekatan Majelis Tarjihnya, juga menekankan prinsip syariat yang melarang segala bentuk pemborosan dan bahaya. Meski belum ada fatwa nasional spesifik, sikap ini sejalan dengan pandangan bahwa kegiatan dimaksud tidak memiliki landasan agama.
Dari sisi hukum negara, Indonesia telah mengatur larangan ini. Pasal 1 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 melarang kepemilikan bahan peledak, termasuk bahan petasan, tanpa izin resmi. Peraturan Kapolri Nomor 17 Tahun 2017 juga membatasi penggunaan kembang api dan petasan, dengan sanksi pidana bagi pelaku yang melanggar.
Pelanggaran ini bahkan dapat dijerat dengan Pasal 187 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kebakaran atau kematian dengan ancaman hukuman penjara hingga 12 tahun jika mengakibatkan korban jiwa. Jadi, kegiatan ini bukan hanya tanpa dasar hukum, tetapi juga melawan hukum yang berlaku.
Kedua, mudarat besar manfaat nihil. Bahaya dari mercon, petasan, dan kembang api bukan isapan jempol. Setiap tahun korban berjatuhan, baik dari sisi produksi maupun penggunaan.
Pada Maret 2023, ledakan petasan di Kaliangkrik, Magelang, menewaskan seorang pengrajin, melukai tiga orang tetangga, dan merusak belasan rumah. Kejadian serupa terjadi di Banyuwangi pada 2017, ketika sebuah rumah produksi petasan meledak, menewaskan dua orang dan menghancurkan bangunan sekitar.
Anak-anak dan remaja, yang sering menjadi pengguna utama, juga rentan menjadi korban. Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mencatat bahwa selama periode Lebaran 2019, puluhan pasien, mayoritas anak-anak, dirawat akibat luka bakar dan amputasi jari karena petasan.
Secara statistik, meskipun data tahunan nasional belum terdokumentasi secara lengkap, laporan kepolisian dan media menunjukkan tren kerugian yang konsisten. Pada Ramadan 2022, razia polisi di berbagai daerah menyita ribuan petasan ilegal, namun kecelakaan tetap terjadi, termasuk kebakaran rumah di Jakarta akibat percikan petasan.
MUI menegaskan dalam fatwanya bahwa mudharat kegiatan ini jauh lebih besar daripada manfaatnya, bahkan manfaatnya nyaris nihil. Pandangan serupa diamini oleh Muhammadiyah yang selalu mengedepankan prinsip kemaslahatan dan penghindaran bahaya dalam setiap aktivitas.
Ketiga, pemborosan yang menyerupai perbuatan setan. Membakar mercon dan kembang api adalah bentuk pemborosan luar biasa. Jutaan rupiah dihamburkan untuk sesuatu yang hanya berlangsung beberapa detik tanpa meninggalkan jejak manfaat.
Dalam Islam, perbuatan ini disebut tabzir, yang secara eksplisit dikutuk dalam Al-Qur’an, Surah Al-Isra ayat 27. MUI dalam fatwanya menegaskan bahwa pemborosan ini menyerupai perbuatan setan, musuh utama umat manusia.
Muhammadiyah juga kerap mengingatkan umat untuk menggunakan harta ke hal-hal yang lebih produktif dan bermanfaat, seperti sedekah atau pendidikan, ketimbang menghabiskannya untuk hal sia-sia.
Di tengah kemiskinan yang masih melanda sebagian masyarakat, tradisi ini menjadi ironi yang menyakitkan.
Seruan Mendesak untuk Bertindak
Dengan fakta-fakta di atas, kita tidak bisa lagi menunda-nunda tindakan yang diperlukan.
Pertama, sangat mendesak bagi para ulama, termasuk dari MUI dan Muhammadiyah untuk memperkuat fatwa nasional yang tegas menyatakan bahwa produksi, penjualan, dan penggunaan mercon, petasan, dan kembang api adalah haram.
Fatwa MUI DKI Jakarta pada 2010 dan pandangan Muhammadiyah tentang kemaslahatan perlu diseragamkan dan diperluas agar memiliki daya ikat yang lebih kuat di seluruh Indonesia.
Kedua, penegak hukum harus bertindak tegas. Kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan perlu menindak tanpa pandang bulu siapa saja yang terlibat, mulai dari produsen, pedagang, hingga pengguna yang melanggar aturan.
Sanksi pidana harus ditegakkan sebagai efek jera, sebagaimana diamanatkan dalam UU Darurat 12/1951 dan KUHP. Tidak boleh ada toleransi lagi terhadap praktik yang jelas-jelas membahayakan masyarakat.
Produksi, penjualan, dan penggunaan mercon, petasan, dan kembang api adalah musibah yang terselubung dalam kemeriahan palsu.
Tanpa dasar hukum agama maupun negara, penuh mudharat tanpa manfaat, serta merupakan pemborosan yang dilarang keras oleh Al-Qur’an, MUI, dan prinsip Muhammadiyah, kegiatan ini harus segera dihentikan. Nyawa, harta, dan ketertiban masyarakat terlalu berharga untuk dikorbankan demi tradisi yang tidak bermakna.
Mari kita berani mengambil langkah tegas sekarang, sebelum korban berikutnya berjatuhan.
*Muhammad Akhyar Adnan adalah Dosen Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Yarsi.
Opini
Sebagai Tradisi, Perjalanan Tentang Kopi di Lahat

Oleh: Sofie (Penggiat Kopi)
LAHAT SUMSEL, MLCI – Tidak mungkin tulisan ini kumulai dari pada suatu hari bercerita tentang kopi, tapi kenyataannya seperti itu menggali perjalanan tentang kopi. Tradisi minum kopi hitam, pekat yang setelah berjalan waktu tinggal di Bumi Seganti Setungguan, Kabupaten Lahat barulah kuketahui adalah kopi tubruk robusta atau kopi Tupak (sebutan kopi Liberika) yang diseduh tubruk.
Perjalanan mengenal kopi dimulai sekitar pertengahan 2007 di Desa Tanjung Sirih, Kecamatan Pulau Pinang menuju Kompleks Situs Megalith Tanjung Sirih di atas bukit sekitar 400-600 MDPL, bersama Hamli (65 th) ketika itu sebagai juru pelihara (Jupel) situs. Menaiki tebing batu curam, lembab, hutan hujan tropis, dipenuhi batang kopi yang rimbun yang sebagian sudah dipanen. Ketika itu harga per kg kopi Rp 12.000 – Rp 18.000.
Suplai makanan di perjalanan habis, pulangnya kami singgah di rumah panggung Hamli. Di dapur yang belum lama ngirou (roasting kopi) kami mencicipi kopi yang kecoklatan, bersama ubi goreng.
“Minum kopi saat hujan seperti ini membantu menghangatkan tubuh. Supaya tidak masuk angin,” ujar Hamli yang bercerita pada penulis.
Kopi yang diseduhnya tidak menyebabkan asam lambung, menghangatkan tubuh. Kami baru tahu dengan takaran pas menambahkan jahe jadi pelepas masuk angin.
Sekitar tahun 2011 di awal Januari, penulis mengunjungi Desa Sumur, Kecamatan Pajar Bulan yang terpampang panorama kaki Gunung Dempo. Sekitar pukul 06.30 warung kopi dan gorengan yang ada sudah ramai bapak-bapak minum kopi di warung, dan makan gorengan. Di sebelah warung tempat penggilingan kopi. Harga 500 gr kopi bubuk kala itu Rp 30.000.
“Sehari kami ngopi paling sedikit tiga kali. Berbarengan dengan selesai sarapan, makan siang dan makan malam. Capek di Ladang sirna setelah ngopi,” cerita Putra (40 th) seorang warga yang mengantar penulis ke Situs Bilik Batu di Kecamatan Pajar Bulan.
Ketika itu penulis mulai merasakan perbedaan citarasa kopi, pada tiap daerah berbeda. Lahat Punya 24 Kecamatan, 360 Desa, 17 Kelurahan. Masing-masing punya khas tersendiri citarasa kopi dan campuran yang menjadi blend kopi seduhan mereka.
Pada peristiwa banjir bandang di Cughup Buluh (Air Terjun Buluh) di Desa Lubuk Selo, Kecamatan Gumay Ulu. Peristiwa banjir sekitar Februari 2016, selesai bersama Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di desa tersebut kami singgah di warung kopi yang dikelola warga dan Pokdarwis di lahan sekitar 1.8 hektar dengan pemandangan air terjun dan sungai.
Ditemani Ahmad Yaumal Ketua Pokdarwis yang kini merupakan Kepala Desa Lubuk Selo. Mengalir cerita legenda setempat dan tradisi kopi. Penulis banyak berbincang dengan pemilik warung kopi, dirinya menyeduh kopi yang digoreng nya dicampur sedikit kacang tanah. Mengingatkan penulis pada Hazelnut Coffee di kafe terkenal yang dibanderol pergelasnya cukup mahal.
“Campuran beras, atau campuran jahe dan kacang tidak banyak. Tapi pas, kita tau pas sebab sudah dari turun temurun diajari orang tua kami membuat kopi,” jelas Yaumal.
Mungkin cerita-cerita menarik tentang kopi dari 360 desa di Laha. Yang sudah 80 persen disinggahi penulis, terurai sebagai tradisi turun temurun yang tentu ada perbedaan atau mungkin sama.
Menarik garis lurus dengan perbincangan bersama Bupati Lahat H Bursah Zarnubi SE tentang Kopi Lahat, dengan penulis. Ketertarikan akan pengembangan potensi perkebunan kopi yang menjadi pemasok terbesar di Sumatera Selatan (Sumsel) dan pemasok terbesar di Indonesia juga.
“Kopi Lahat itu punya potensi besar. Kita butuh ahli perkebunan kopi, hingga peracik kopi,” ungkap Bursah Zarnubi yang penikmat kopi.
Dirinya paham potensi terbesar ada pada Robusta di angka 80 persen, Kopi Arabika 10-15 persen dan hanya 5 persen untuk Kopi Liberika. Bursah juga mengharapkan dari 50 UMKM unggulan nantinya ada produk Kopi Lahat.
“Investor itu mencari Kopi Liberika, rupanya sangat sedikit potensi nya dari 54 ribu hektar kebun kopi di Kabupaten Lahat,” jelas Bursah Zarnubi.
Industri kopi Indonesia saat ini makin pesat. Lahan tidur yang tidak tertata di Kabupaten Lahat masih banyak. Potensi besar menanti dari hulu hingga ke hilir. Apalagi didukung dengan praktek pengelolaan kopi yang baik dari hulu hingga industri hilir kopi. Hanya saja harapannya tidak menghilangkan tradisi yang mengakar pada seduhan kopi juga dalam tampilannya.***
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
4 Pria dan 1 Wanita Terduga Pelaku Narkoba Diringkus Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Team Tiger Polres Lahat Kembali Tangkap Terduga Pembunuhan
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Dua Pasal Hukum, Dodo Arman Ditangkap Kasat Reskrim Polres Lahat
-
Peristiwa4 tahun ago
Pelajar Alami Kecelakaan di Perlintasan Kereta Api Depan SMKN 2 Lahat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Hampir Dua Bulan Buron, Pembacok Diciduk Tim Satreskrim Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Langgar Aturan, Oknum Polres Lahat Diberhentikan Tidak Hormat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Komplotan Pelaku Narkoba Lahat Tengah Berhasil Ditangkap Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Soal Pembunuhan di Kikim Tengah, Pengacara Korban Angkat Bicara