Connect with us

Opini

Taiwan Belum Bisa Gabung WHO, Tapi Siap Berbagi dan Minta Dukungan Indonesia

Published

on

Oleh John Chen*

Penulis adalah Kepala Perwakilan Kantor Perdagangan dan Ekonomi Taipei (TETO) di Indonesia.

Ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa pandemi Covid-19 bukan lagi sebuah “Darurat kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia”, kegiatan ekonomi dan perdagangan internasional secara bertahap kembali normal.

Negara-negara telah belajar dari pengalaman Covid-19 tentang pentingnya pendekatan “One Health” (Satu Kesehatan) untuk sedini mungkin menanggapi kemungkinan pandemi terulang kembali di masa depan.

WHO berencana untuk merevisi Peraturan Kesehatan Internasional (IHR) saat ini dan secara aktif membahas perumusan Perjanjian Pandemi (Pandemic Agreement) untuk mempercepat pembentukan kerangka tata kelola penyakit global yang lebih komprehensif.

Taiwan sendiri saat ini belum dapat bergabung dengan WHO dan belum bisa berpartisipasi dalam pertemuan dan mekanisme terkait serta tidak dapat berpartisipasi secara langsung dalam merevisi ketentuan IHR atau penyusunan perjanjian pandemi.

Meski demikian Taiwan tetap ingin secara aktif berbagi pengalaman dalam memerangi epidemi dan belajar dari negara lain. Selama periode Covid-19 Taiwan telah mengadopsi tindakan pencegahan yang menggunakan kecerdasan buatan, big data, dan jaringan pengawasan.

Taiwan juga menyumbangkan tabung oksigen, respirator, masker, pakaian APD, termometer, dan peralatan medis serta bahan pencegahan epidemi lainnya ke negara-negara sahabat seperti Indonesia.

Dalam beberapa dekade terakhir Taiwan telah meningkatkan pelayanan medis dan sistem kesehatan masyarakat sesuai rekomendasi WHO, termasuk memperkuat layanan kesehatan primer dan kesehatan mulut, pencegahan dan pengobatan penyakit menular dan tidak menular, dan berupaya meningkatkan cakupan kesehatan nasional sebagai bentuk kontribusi pada keselamatan kesehatan global.

Sementara itu WHO memimpin pengembangan kesehatan masyarakat global dan merupakan organisasi internasional utama yang membela hak atas kesehatan semua orang.

Namun karena pertimbangan politik yang tidak masuk akal, WHO terus mengecualikan Taiwan yang berarti tidak hanya mengabaikan hak atas kesehatan 23 juta penduduk Taiwan, tetapi juga menghambat pencegahan, persiapan, dan tanggapan global dalam menghadapi darurat kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia.

Khusus dengan Indonesia, Taiwan memiliki hubungan persahabatan dan pertukaran antar masyarakat yang sangat erat. Saat ini terdapat 400.000 pelajar dan pekerja migran Indonesia yang tinggal di Taiwan dan lebih dari 20.000 warga negara Taiwan yang tinggal di Indonesia untuk bekerja dan berbisnis. Sementara itu pertukaran wisatawan Taiwan-Indonesia setiap tahun mencapai hampir 500.000 orang.

Tidak seperti Indonesia, sampai saat ini Taiwan belum dapat bergabung dengan WHO dan berpartisipasi dalam konferensi dan mekanisme yang relevan. Taiwan juga tidak dapat memperoleh informasi dan sumber daya mengenai penyakit epidemi serta tidak dapat bergabung dengan rantai pasokan dan jaringan logistik kesehatan masyarakat global.

Konsekuensinya terbentuk kesenjangan dalam jaringan keselamatan kesehatan masyarakat dan menciptakan resiko dalam pencegahan epidemi global, serta merugikan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat Taiwan dan Indonesia.

Dalam beberapa tahun terakhir, Taiwan telah membuat kemajuan dan kontribusi yang signifikan untuk meningkatkan kesehatan nasional. Taiwan juga bersedia berbagi pengalaman dan keahlian medis dengan dunia internasional.

Saat ini Rumah Sakit National Taiwan University dan Rumah Sakit Far Eastern Memorial bahkan telah melaksanakan berbagai proyek kerja sama dengan institusi medis Indonesia, antara lain berupa pelatihan tenaga medis, pertukaran akademis, dan penelitian klinis.

Selain itu, menanggapi rencana baru Pemerintah Indonesia untuk menyeleksi dan mengirim 10.000 tenaga medis yang akan mengikuti pelatihan di luar negeri, Taiwan bersedia berbagi pengalaman dalam pelayanan medis tingkat tinggi dan kesehatan masyarakat.

Taiwan juga siap menyediakan berbagai pelatihan profesional seperti asuransi kesehatan, manajemen medis, dan kedokteran klinis. Taiwan berharap dapat meningkatkan kerja sama bilateral dengan Indonesia di bidang medis untuk membantu Indonesia mewujudkan visi kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Taiwan sejatinya telah membantu WHO dalam menerapkan “Hak atas Kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia”, tetapi hak kesehatan 23 juta penduduk Taiwan telah diabaikan oleh WHO karena faktor politik.

Dalam kaitan ini, kami menyerukan kepada WHO dan mengajak seluruh lapisan masyarakat di Indonesia untuk melihat kontribusi jangka panjang Taiwan terhadap keselamatan kesehatan global dan hak asasi manusia di bidang kesehatan.

Kami juga mendesak WHO untuk mempertahankan sikap terbuka dan fleksibel, menjunjung tinggi prinsip toleransi dan profesionalisme, serta secara proaktif dan pragmatis mengundang Taiwan untuk berpartisipasi dalam Sidang Majelis Kesehatan Dunia (WHA).

Taiwan juga berkeinginan dan siap berpartisipasi dalam pertemuan, kegiatan dan mekanisme yang diadakan oleh WHO, termasuk Perjanjian Pandemi WHO yang sedang dinegosiasikan.

Taiwan bersedia bekerja sama dengan semua negara di seluruh dunia untuk mewujudkan visi piagam WHO bahwa “Kesehatan merupakan hak asasi manusia” dan tujuan pembangunan berkelanjutan PBB adalah untuk “tidak meninggalkan siapa pun”.

Jaringan keselamatan kesehatan global dapat dibangun sepenuhnya dengan mengikutsertakan Taiwan. Dalam kaitan ini pula kami mengajak seluruh lapisan masyarakat di Indonesia untuk mendukung partisipasi Taiwan dalam Sidang WHA dan dalam semua pertemuan, kegiatan, dan mekanisme WHO.***

Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

Tarif Trump, Biaya Mendominasi

Published

on

By

Oleh Ichsanuddin Noorsy*

*Ichsanuddin Noorsy adalah Ekonom yang juga Penasehat Forum Akademisi Indonesia (FAI).

Sekitar 40 tahun lalu, saat Indonesia didikte Amerika Serikat untuk melepas hambatan tarif (tariff barrier) terhadap perdagangan bebas, hampir semua ekonom Indonesia yang dididik Barat dan “kader Washington” mengaminkan anjuran yang memaksa itu.

Argumentasi mereka, sebagaimana argumentasi ekonom AS adalah, perdagangan bebas akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Maka pemerintah harus melepaskan perlindungan dan tidak boleh mendistorsi pasar. Lalu BUMN dan perusahaan domestik jangan menjadi jago kandang.

Tesa mereka berbunyi, biarkan pasar mencari keseimbangan sendiri. “Let the free market play,” begitulah propagandanya, dan semua universitas dan perguruan tinggi di Indonesia menyetujui.

Mata kuliah ekonomi internasional pun menjadi pengajaran bergengsi. Kebijakan ekonomi politik saat itu dikenal dengan sebutan deregulasi dan debirokratisasi. Lahirlah paket kebijakan November 1987 yang menurunkan tarif masuk barang impor. Bahkan pekerjaan Bea Cukai diserahkan ke perusahaan multi nasional asal Perancis bernama SGS (Société Générale de Surveillance).

Menkeu JB Sumarlin pun mengeluarkan gebrakan Paket Oktober 1988, suatu kebijakan yang meliberalkan sektor keuangan dan perbankan. Nilai tukar rupiah  mengambang bebas. Hasilnya, Indonesia diserang oleh pasar uang yang memukul rupiah sehingga terjadi krisis multi dimensi 1997/1998. Lalu UUD 1945 pun diganti menjadi UUD 2002, hasil amandemen empat kali.

Banyak yang belum sadar, nilai tukar adalah bagian dari harga diri bangsa.

Setelah Indonesia terpuruk, AS kemudian menerbitkan kebijakan perang melawan teror menyusul peristiwa runtuhnya gedung kembar World Trade Centre pada 11 September 2001.

Justru dengan peristiwa itu AS membangun keyakinan diri bahwa pasar bebas, perdagangan bebas, demokrasi, model pembangunan Barat, dan tegaknya hak asasi manusia patut dicanangkan di seluruh dunia.

Presiden AS ke-43 George Walker Bush menegaskan hal itu pada 17 September 2002 dalam National Security Strategic of USA (Re: Noorsy, Prahara Bangsa, Desember 2024).

Jika kini Presiden AS ke-45 dan ke- 47 Donald Trump dari Partai Republik menerbitkan kebijakan hambatan tarif, maka AS sebenarnya sedang mempertahankan dominasi perekonomian globalnya dan sekaligus menyerang balik 60 negara. Sebenarnya pada 2004 AS sudah merasakan desakan impor dari berbagai negara, khususnya dari RRC.

Kemudian, walaupun sudah mendapatkan kepastian dari Irak, AS merasa tak nyaman tergantung pada pasokan minyak dari Venezuela, Kanada, Kuwait, dan Saudi Arabia.

Pada 2007 AS mengalami defisit perdagangan dengan RRC senilai US$ 267 miliar dan menjadi US$323 miliar pada 2008. Inilah yang menyebabkan krisis keuangan global pada 2008 karena gagal bayarnya Subprime Mortgage. Lagi-lagi semua ekonom mengaminkan bahwa krisis 2008/2009 disebabkan oleh krisis keuangan, tanpa melihat kekalahan perang dagang AS.

Menurut Wall Street Journal, defisit perdagangan AS sudah terjadi sejak 1980. Sementara defisit APBNnya berlangsung sejak 2001. Kebiijakan GW Bush sendiri dipandang telah membangkitkan perlawanan dari musuh-musuh potensial AS, baik secara militer maupun secara ekonomi.

Komite Penyelidik yang dibentuk Obama menyatakan, krisis 2008/2009 disebabkan oleh moral hazard (Re: Noorsy, Moral Hazard Perbankan. Unair, Surabaya, Februari 2011).

Dalam pengajaran saya di berbagai universitas/perguruan tinggi dan di Sekolah Pimpinan Nasional LAN, Sekolah Perwira Tinggi Kepolisian, serta di Sekolah Pendidikan Luar Negeri Kemenlu sejak 2009 hingga 2015 disebutkan bahwa perang dagang telah dimulai sejak Obama mencanangkan American First.

Saat berkuasa, Obama menyatakan muak terhadap Presiden RRC Hu Jintao. Tapi sikap Obama dinyatakan tidak memadai oleh Trump yang menjadi Presiden AS ke-45. Saat itu Trump langsung menyatakan perang dagang, perang nilai tukar, dan perang sistem ekonomi.

Media arus utama Barat melukiskan peperangan ekonomi itu sebagai state capitalism (BUMN) melawan corporate capitalism (korporasi swasta). Lima bulan sebelum Trump menduduki Gedung Putih, serangan Barat terhadap pasar modal Shanghai — yang disebut Black Monday 24 Agustus 2015 — justru membuahkan perlawanan Rusia dan China.

Dua negara ini menanggalkan pemakaian sistem pembayaran SWIFT Code yang menggunakan mata uang dolar AS. Kartu kredit Visa Card disingkirkan kartu kredit RRC, Unionpay. Secara menyeluruh, perang sistem ini dikenal sebagai Sustainable Growth atau Sustainable Development.

Tampak bahwa goal (SDGs) dari Barat yang dikomandoi AS melalui Bank Dunia, IMF dan WTO adalah melawan Belt and Road Inisiative dari RRC beserta negara mitranya. Dalam lingkup kelembagaan, inilah peperangan Bank Dunia bersama ADB melawan New Develoment Bank bersama Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang modal besarnya dari RRC.

Maka dedolarisasi tak terhindarkan. Sementara RRC dan Rusia membuat sistem pembayaran sendiri sambil mengganti dolar  (SDGs) AS dengan mata uang bilateral atau mata uang BRICS. Sebelumnya kader Partai Republik Marco Rubio yang saat itu menjabat sebagai Senator dari Florida, menyatakan, AS tidak perlu kecil hati.

Pernyataan ini seirama dengan pemberitaan majalah the Economist 30 Juni 2007, Still No.1, karena AS memiliki kekuatan militer, jumlah APBN yang besar, menguasai pasar minyak dan komoditas strategis, menguasai teknologi informasi dan komunikasi, penentu utama industri makanan cepat saji, dan penguasa industri media serta menjadi kiblat pendidikan.

Tapi perang ekonomi yang dilancarkan Trump era pertama tidak juga membuat AS berhasil mengatasi neraca perdagangannya. Pada titik ini, dimensi perdagangan global berbasis persaingan bebas telah membuat perekonomian AS terhuyung-huyung.

Penguasaan dolar AS sebesar 88,4 persen pada transaksi keuangan internasional, 59,1 persen pada cadangan devisa berbagai negara, 46,5 persen pada SWIFT Code, dan 25,4 persen pada perhitungan PDB Global tidak membuat AS mampu mengatasi kemelut perekonomian nasionalnya.

Kebijakan suku bunga Federal Reserve, inflasi tinggi, dan bantuan sosial melalui paycheck tidak membuat daya beli masyarakat AS membaik, sementara krisis kepemilikan rumah berlangsung bersamaan dengan bencana kebakaran, kebanjiran dan badai tornado yang menimbulkan biaya tinggi. Ketimpangan ekonomi yang tinggi pun terjadi.

Sebagai negara super power perekonomian dunia, Trump melihat bahwa biaya perekonomian nasional AS dan upaya menjaga posisi mendominasi dunia dapat dilakukan antara lain dengan tarif resiprokal.

Di dalam negeri, kendati diprotes berbagai negara bagian dan masyarakat luas, Trump melancarkan efisiensi anggaran dengan memberhentikan jutaan pegawai federal dan negara bagian.

Rasanya Trump akan bertahan dengan sikapnya jika kita belajar dari karakternya sebagai pebinis dan tokoh masyarakat kulit putih AS. Maka 50 negara yang tarifnya dinaikkan mengajukan negosiasi, sementara musuh utamanya, Kanada, Meksiko dan RRC melakukan pembalasan. Artinya, perang ekonomi belum usai.

Bagi Indonesia yang terkena penetapan tarif 32 persen dan ingin menegosiasikan, sebenarnya patut dilihat dalam perspektif risiko dan manfaat. Belajar dari 40 tahun terakhir, jatuhnya nilai tukar dan merupakan nilai tukar terlemah ke lima di dunia memberikan pembelajaran bahwa ada yang salah dalam pemilihan dan pemilahan kebijakan.

Defisit neraca pembayaran bersamaan dengan defisit anggaran menunjukkan surplus neraca perdagangan tidak identik dengan membaiknya makro prudensial (nilai tukar, suku bunga, dan inflasi).

Rentannya makro prudensial ini membuat mikro prudensial selalu berhadapan dengan rendahnya kepastian struktur biaya produksi. Pasar barang (terutama pada barang dan jasa hajat hidup orang banyak) dan pasar uang pasti memengaruhi pasar tenaga kerja. PHK pun terjadi lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah.

Sementara membaiknya nilai ekspor terhadap utang luar negeri dari 123 persen pada 2013 menjadi 130 persen pada 2024 malah menunjukkan ada yang salah dengan struktural perekonomian Indonesia. Penyebabnya adalah deindustrialisasi yang berjalan sejak era SBY hingga saat ini.

Trump sebenarnya sedang mengajarkan kaum teknokrat dan intelektual ultra neoliberal Indonesia bahwa “inward looking” (melihat ke dalam, mengutamakan kepentingan nasional) merupakan hal yang sangat penting untuk memelihara dan menjaga kedaulatan ekonomi.

Penyelamatan ini harus dilakukan bukan hanya dengan menganekaragamkan pasar, atau memperluas pasar. Ada yang lebih penting lagi, yakni memperbaiki kepercayaan sosial, politik dan ekonomi bersamaan dengan mendorong terjadinya inovasi sehingga bangsa ini tidak melulu dijadikan konsumen, atau menjadi budak dan operator atas kemajuan teknologi informas dan komunikasi.

Bangsa Indonesia tetap mempunyai harapan besar untuk bangkit sepanjang bangsa ini setia, tangguh dan teguh mempertahankan janji suci para pendiri republik. Mari berhenti menjadi penjilat dan penghianat karena kita mempunyai kiblat ekonomi sendiri.

Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

Mercon dan Kembang Api: Kemeriahan Palsu Yang Wajib Dihentikan

Published

on

By

Oleh Muhammad Akhyar Adnan*

Kegiatan produksi, penjualan, dan penggunaan mercon, petasan, serta kembang api telah menjadi   tradisi yang melekat di   masyarakat, terutama saat   perayaan seperti Idul Fitri atau Tahun Baru. Namun, di balik kemeriahan sesaat yang ditawarkan, terdapat ancaman serius yang tidak bisa diabaikan lagi.

Sudah saatnya kita   membuka mata dan mengambil sikap tegas  untuk  menghentikan praktik ini demi kebaikan   bersama. Berikut adalah alasan mendesak mengapa kegiatan ini harus segera dihentikan.

Pertama, tidak ada dasar hukum. Sebaliknya: melanggar hukum. Secara agama  Islam, tidak ada   ayat Al-Qur’an atau hadis   yang mendukung   penggunaan petasan atau kembang api sebagai bagian dari ibadah atau perayaan.

Sebaliknya, MUI DKI Jakarta melalui Fatwa pada 13 Ramadhan 1431 H (23 Agustus 2010) menyatakan bahwa membakar petasan dan kembang api adalah haram karena merupakan pemborosan (tabzir), tidak memiliki manfaat syar’i, dan membahayakan jiwa.

Ini sesuai larangan dalam Surah Al-Isra ayat 26-27:  “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.  Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah   saudara-saudara setan.”

Muhammadiyah, melalui   pendekatan Majelis   Tarjihnya, juga   menekankan prinsip   syariat yang melarang segala bentuk pemborosan dan bahaya. Meski belum ada fatwa nasional spesifik, sikap ini sejalan dengan pandangan bahwa kegiatan dimaksud tidak memiliki landasan agama.

Dari sisi hukum negara, Indonesia telah mengatur larangan ini. Pasal 1 ayat (1) UU Darurat Nomor 12   Tahun 1951 melarang   kepemilikan bahan   peledak, termasuk bahan   petasan, tanpa izin resmi.  Peraturan Kapolri Nomor  17 Tahun 2017 juga  membatasi penggunaan kembang api dan petasan, dengan sanksi pidana bagi pelaku yang melanggar.

Pelanggaran ini bahkan   dapat dijerat dengan Pasal   187 KUHP tentang   kelalaian yang   menyebabkan kebakaran   atau kematian dengan   ancaman hukuman   penjara hingga 12 tahun   jika mengakibatkan korban jiwa. Jadi, kegiatan ini bukan hanya tanpa dasar hukum, tetapi juga melawan hukum yang berlaku.

Kedua, mudarat besar manfaat nihil. Bahaya dari mercon, petasan, dan kembang api bukan isapan jempol. Setiap tahun korban berjatuhan, baik dari sisi produksi maupun penggunaan.

Pada Maret 2023, ledakan petasan di Kaliangkrik, Magelang, menewaskan seorang pengrajin, melukai tiga orang tetangga, dan merusak belasan rumah. Kejadian serupa terjadi di Banyuwangi pada 2017, ketika sebuah rumah produksi petasan meledak, menewaskan dua orang dan menghancurkan bangunan sekitar.

Anak-anak dan remaja, yang sering menjadi pengguna utama, juga rentan menjadi korban.   Data dari Rumah Sakit   Cipto Mangunkusumo   mencatat bahwa selama periode Lebaran 2019,   puluhan pasien, mayoritas   anak-anak, dirawat akibat   luka bakar dan amputasi jari karena petasan.

Secara  statistik, meskipun  data tahunan nasional  belum terdokumentasi secara lengkap, laporan kepolisian dan media menunjukkan tren kerugian yang konsisten. Pada Ramadan 2022, razia polisi di berbagai daerah menyita ribuan petasan ilegal, namun kecelakaan tetap terjadi, termasuk kebakaran rumah di Jakarta akibat percikan petasan.

MUI menegaskan dalam   fatwanya bahwa mudharat  kegiatan ini jauh lebih   besar daripada manfaatnya, bahkan manfaatnya nyaris nihil. Pandangan serupa diamini oleh Muhammadiyah yang selalu mengedepankan prinsip kemaslahatan dan penghindaran bahaya dalam setiap aktivitas.

Ketiga, pemborosan yang menyerupai perbuatan setan. Membakar mercon dan kembang api adalah bentuk pemborosan luar biasa. Jutaan rupiah dihamburkan untuk sesuatu yang hanya berlangsung beberapa detik tanpa meninggalkan jejak manfaat.

Dalam Islam, perbuatan ini disebut tabzir, yang secara eksplisit dikutuk dalam Al-Qur’an, Surah Al-Isra ayat 27.  MUI dalam fatwanya menegaskan bahwa pemborosan ini menyerupai  perbuatan setan, musuh   utama umat manusia.

Muhammadiyah  juga  kerap mengingatkan umat   untuk menggunakan harta   ke hal-hal yang lebih   produktif dan bermanfaat, seperti sedekah atau pendidikan, ketimbang menghabiskannya untuk hal sia-sia.

Di tengah kemiskinan yang masih melanda sebagian masyarakat, tradisi ini menjadi ironi yang menyakitkan.

Seruan Mendesak untuk Bertindak

Dengan fakta-fakta di   atas, kita tidak bisa lagi   menunda-nunda tindakan yang diperlukan.

Pertama, sangat mendesak bagi para ulama, termasuk dari MUI dan Muhammadiyah untuk memperkuat fatwa   nasional yang tegas   menyatakan bahwa   produksi, penjualan, dan   penggunaan mercon, petasan, dan kembang api adalah haram.

Fatwa MUI DKI Jakarta pada 2010 dan pandangan Muhammadiyah tentang kemaslahatan perlu diseragamkan dan diperluas agar memiliki daya ikat yang lebih kuat di seluruh Indonesia.

Kedua, penegak hukum harus bertindak tegas. Kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan perlu menindak  tanpa pandang bulu siapa  saja yang  terlibat, mulai  dari produsen, pedagang, hingga pengguna yang melanggar aturan.

Sanksi pidana harus ditegakkan sebagai efek jera, sebagaimana diamanatkan dalam UU Darurat 12/1951 dan KUHP. Tidak boleh ada toleransi lagi terhadap praktik yang jelas-jelas membahayakan masyarakat.

Produksi, penjualan, dan penggunaan mercon, petasan, dan kembang api adalah musibah yang  terselubung  dalam kemeriahan palsu.

Tanpa dasar hukum agama  maupun negara, penuh mudharat tanpa manfaat, serta merupakan pemborosan yang dilarang keras oleh Al-Qur’an,  MUI, dan prinsip Muhammadiyah, kegiatan  ini harus segera dihentikan. Nyawa, harta, dan  ketertiban masyarakat  terlalu berharga untuk  dikorbankan demi tradisi  yang tidak bermakna.

Mari kita berani   mengambil langkah tegas   sekarang, sebelum korban berikutnya berjatuhan.

*Muhammad Akhyar Adnan adalah Dosen Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Yarsi.

Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

Sebagai Tradisi, Perjalanan Tentang Kopi di Lahat

Published

on

By

Oleh: Sofie (Penggiat Kopi)

LAHAT SUMSEL, MLCI – Tidak mungkin tulisan ini kumulai dari pada suatu hari bercerita tentang kopi, tapi kenyataannya seperti itu menggali perjalanan tentang kopi. Tradisi minum kopi hitam, pekat yang setelah berjalan waktu tinggal di Bumi Seganti Setungguan, Kabupaten Lahat barulah kuketahui adalah kopi tubruk robusta atau kopi Tupak (sebutan kopi Liberika) yang diseduh tubruk.

Perjalanan mengenal kopi dimulai sekitar pertengahan 2007 di Desa Tanjung Sirih, Kecamatan Pulau Pinang menuju Kompleks Situs Megalith Tanjung Sirih di atas bukit sekitar 400-600 MDPL, bersama Hamli (65 th) ketika itu sebagai juru pelihara (Jupel) situs. Menaiki tebing batu curam, lembab, hutan hujan tropis, dipenuhi batang kopi yang rimbun yang sebagian sudah dipanen. Ketika itu harga per kg kopi Rp 12.000 – Rp 18.000.

Suplai makanan di perjalanan habis, pulangnya kami singgah di rumah panggung Hamli. Di dapur yang belum lama ngirou (roasting kopi) kami mencicipi kopi yang kecoklatan, bersama ubi goreng.

“Minum kopi saat hujan seperti ini membantu menghangatkan tubuh. Supaya tidak masuk angin,” ujar Hamli yang bercerita pada penulis.

Kopi yang diseduhnya tidak menyebabkan asam lambung, menghangatkan tubuh. Kami baru tahu dengan takaran pas menambahkan jahe jadi pelepas masuk angin.

Sekitar tahun 2011 di awal Januari, penulis mengunjungi Desa Sumur, Kecamatan Pajar Bulan yang terpampang panorama kaki Gunung Dempo. Sekitar pukul 06.30 warung kopi dan gorengan yang ada sudah ramai bapak-bapak minum kopi di warung, dan makan gorengan. Di sebelah warung tempat penggilingan kopi. Harga 500 gr kopi bubuk kala itu Rp 30.000.

“Sehari kami ngopi paling sedikit tiga kali. Berbarengan dengan selesai sarapan, makan siang dan makan malam. Capek di Ladang sirna setelah ngopi,” cerita Putra (40 th) seorang warga yang mengantar penulis ke Situs Bilik Batu di Kecamatan Pajar Bulan.

Ketika itu penulis mulai merasakan perbedaan citarasa kopi, pada tiap daerah berbeda. Lahat Punya 24 Kecamatan, 360 Desa, 17 Kelurahan. Masing-masing punya khas tersendiri citarasa kopi dan campuran yang menjadi blend kopi seduhan mereka.

Pada peristiwa banjir bandang di Cughup Buluh (Air Terjun Buluh) di Desa Lubuk Selo, Kecamatan Gumay Ulu. Peristiwa banjir sekitar Februari 2016, selesai bersama Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di desa tersebut kami singgah di warung kopi yang dikelola warga dan Pokdarwis di lahan sekitar 1.8 hektar dengan pemandangan air terjun dan sungai.

Ditemani Ahmad Yaumal Ketua Pokdarwis yang kini merupakan Kepala Desa Lubuk Selo. Mengalir cerita legenda setempat dan tradisi kopi. Penulis banyak berbincang dengan pemilik warung kopi, dirinya menyeduh kopi yang digoreng nya dicampur sedikit kacang tanah. Mengingatkan penulis pada Hazelnut Coffee di kafe terkenal yang dibanderol pergelasnya cukup mahal.

“Campuran beras, atau campuran jahe dan kacang tidak banyak. Tapi pas, kita tau pas sebab sudah dari turun temurun diajari orang tua kami membuat kopi,” jelas Yaumal.

Mungkin cerita-cerita menarik tentang kopi dari 360 desa di Laha. Yang sudah 80 persen disinggahi penulis, terurai sebagai tradisi turun temurun yang tentu ada perbedaan atau mungkin sama.

Menarik garis lurus dengan perbincangan bersama Bupati Lahat H Bursah Zarnubi SE tentang Kopi Lahat, dengan penulis. Ketertarikan akan pengembangan potensi perkebunan kopi yang menjadi pemasok terbesar di Sumatera Selatan (Sumsel) dan pemasok terbesar di Indonesia juga.

“Kopi Lahat itu punya potensi besar. Kita butuh ahli perkebunan kopi, hingga peracik kopi,” ungkap Bursah Zarnubi yang penikmat kopi.

Dirinya paham potensi terbesar ada pada Robusta di angka 80 persen, Kopi Arabika 10-15 persen dan hanya 5 persen untuk Kopi Liberika. Bursah juga mengharapkan dari 50 UMKM unggulan nantinya ada produk Kopi Lahat.

“Investor itu mencari Kopi Liberika, rupanya sangat sedikit potensi nya dari 54 ribu hektar kebun kopi di Kabupaten Lahat,” jelas Bursah Zarnubi.

Industri kopi Indonesia saat ini makin pesat. Lahan tidur yang tidak tertata di Kabupaten Lahat masih banyak. Potensi besar menanti dari hulu hingga ke hilir. Apalagi didukung dengan praktek pengelolaan kopi yang baik dari hulu hingga industri hilir kopi. Hanya saja harapannya tidak menghilangkan tradisi yang mengakar pada seduhan kopi juga dalam tampilannya.***

Bagikan Berita :
Continue Reading

Populer

error: Content is protected !!