Opini

BINA ETIKA DAN HUKUM: BUDAYA PUNGLI, HARUS DIBASMI

Published

on

OLEH : HM Goerillah TAN (Pemerhati Lingkungan)

Pengantar: Sesuai tema Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) yang jatuh pada tanggal 9 Desember 2020 lalu, yakni “Membangun Kesadaran Seluruh Elemen Bangsa dalam Budaya Antikorupsi”.

Ketua KPK RI telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 30/2020 berupa himbauan Penyelenggaraan Kegiatan Hakordia.

Untuk itu Partisipasi penulis mencoba menyoroti akar permasalahannya, semoga bermanfaat. Terima kasih.

BUDAYA yang merupakan alat ukur bagi kemajuan suatu bangsa telah diisyaratkan oleh Rasullulah Muhammad, SAW dalam salah satu pesannya “ tuntutlah ilmu, sampai kenegeri China “.

Berarti, begitu telah terkenalnya negeri yang satu ini pada 14 abad yang lalu, sampai-sampai Baginda Rasul mengeluarkan pesan penting bagi ummatnya, agar selalu belajar dan menuntut ilmu sebanyak-banyaknya, bahkan kalau perlu harus menyeberang lautan nun jauh disana.

Bisa dibayangkan kala itu, negeri China dibelahan bumi paling Timur yang untuk mencapainya perlu transportasi (yang kala itu) hanya ada kapal laut, tentu tidak mudah.

Namun pesan Rasul itu ternyata mampu dilaksanakan oleh para sahabat dan pengikutnya, melalui usaha berdagang sambil menyebarkan ajaran Islam melalui dakwah yang penuh kedamaian.

Dengan kapal-kapal laut berlayar kepelosok negeri sehingga terjadi interaksi sosial yang berkelanjutan sehingga secara tidak disadari terjadi pula pertukaran budaya antar bangsa.

Penyebaran agama Islam yang terkenal di Nusantara, adalah melalui saudagar-saudagar Arab dari Gujarat yang telah memeluk Islam. Berlayarlah mereka kepelosok negeri, antara lain mendaratkan kapal-kapal dagang dari Gujarat itu ke Swarna Dwipa.

Seperti di Aceh dan tanah Jawa penyebaran agama dan budaya Islam terjadi dan berkembang pesat hingga terbentuklah kerajaan Islam yang peninggalan masa kejayaannya terbukti masih ada hingga kini seperti Samudra Pasai, Sultan Iskandar Muda dll.

Di Banda Aceh ada peninggalan sejarah berupa Lonceng Cakra Donya yang merupakan hadiah dari Laksamana Cheng Ho.

Dari kedua rumpun bangsa (Arab dan China) yang datang ke Nusantara pada dasarnya memberikan pengetahuan dan ajaran filosofis tentang achlaq dan tata cara dalam berdagang didasari kesucian dan kejujuran untuk memperoleh keuntungan yang wajar.

Masing-masing bersumber dari ajaran agamanya masing-masing yang mengakar dalam kehidupannya sehari-hari.

Dan tidak ada sedikitpun ajaran agama yang suci itu membolehkan cara-cara menyimpang bahkan sistem jual beli secara Islam dan membayar zakat dilengkapi dengan ikrar ijab qobul yang jelas, berarti sama-sama ikhlas. Jelas dalam konteks ini diajarkan etika jual beli bersyariat hukum agama yang merupakan ibadah yang sakral, bukan main-main.

BERBAHAYANYA SETORAN
Yang tentu saja secara semantik didifinisikan orang sebagai penyampaian uang atau barang dari kaum rendahan kepada kaum yang lebih tinggi yang zaman dulu disebut upeti.

Atau lebih kongkrit lagi (secara positif) dapat diartikan kini sebagai suatu kewajiban warga negara kepada pemerintah.

Ambil contoh; setoran pajak, atau cukai tembakau misalnya, hal itu merupakan penyampaian kewajiban suatu badan (perusahaan misalnya) atau individu kepada pemerintah sehingga hasil pengumpulan setoran pajak ini akan menjadi salah satu unsur pendapatan asli daerah.

Maupun pemerintah pusat yang kelak akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk program pembangunan infra struktur dll. Terbukti dengan setoran pajak, cukai tembakau dll menjadi andalan pembangunan.

Dengan demikian maka istilah setoran disini, positip bentuknya dan sesuatu yang positip tentu saja perlu didukung dasar hukum dan aturan yang jelas sehingga perlu dituangkan dalam undang-undang yang dilengkapi juga dengan berbagai penjelasan maupun peraturan pemerintah sebagai juklak dan juknisnya.

Namun berbeda halnya dengan bentuk setoran yang dikategorikan pungutan liar (pungli) yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

Hal ini terbukti banyak dipraktekkan oleh para oknum pejabat di instansi dan lembaga formal maupun di lembaga-lembaga non formal yang umumnya dalam bentuk aturan “khusus” yang tidak jelas.

Awalnya hanya semacam saling pengertian saja, antara seorang bawahan kepada atasan misalnya. Bahwa, untuk dapat menduduki jabatan tertentu harus mampu menyetorkan sejumlah uang atau barang jenis lain sebagai substitusinya.

Misalnya uang dapat diganti dengan barang kasar (barang berharga beneran) atau dapat juga dengan barang halus (wanita beneran). Dan hal ini telah menjadi budaya buruk dilapisan-lapisan tertentu.

Bahkan ukuran keberhasilan seseorangpun tidak lagi didasarkan kepada prestasi, melainkan setorannya lah sebagai ukuran.

Boleh jadi sesorang karyawan itu mampu menyelesaikan suatu kerja proyek dengan menghemat anggaran, justru dia belakangan sekali naik pangkat dan bukan tidak mungkin bisa-bisa karena hemat anggaran dan nihil setoran akan mendapat meja kosong alias non job.

Dan di lembaga tertentu bahkan dipraktekkan ilmu “kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah, ada pula yang menerapkan “gantung palu” untuk suatu pengesahan APBD misalnya, maka merebaklah praktek suap tanpa malu-malu lagi.

Kalau sudah begini budaya malu hilang, dan yang dikejar semata-mata uang. Walau dibanyak tempat terpampang poster yang berisi slogan yang mengharamkan suap atau setoran tapi semua itu tetap berjalan lancar menjadi kebiasaan, untuk menjadi koruptor.

SETORAN, ALA PASAR TANAH ABANG
Pola dagang barang-barang di pasar kulakan terbesar di Jakarta itu, menerapkan symbol-symbol yang tidak semua orang mengerti.

Selintas terdengar lucu, ayo-ayo bapak ibu “atasan seratus, bawahan limapuluh” dan ternyata hal ini punya makna tersendiri, bahwa baju (blous) bagian atas seharga seratus ribu rupiah, tapi untuk baju rock bawah dihargai lima puluh ribu saja.

Terutama ibu-ibu yang sering berbelanja di Tanah Abang sangat mengerti, bahwa yang dimaksud (ditawarkan) oleh sipenjual pakaian jadi itu demikianlah adanya. Bahwa harga atasan dan bawahan tidak sama alias berlainan kelas.

Penerapan setoran tentu mengikuti trend Tanah Abang zaman now sekarang ini, biasanya pembagian setoran tidak mutlak sama.

Persis gaya Tanah Abang, bila untuk atasan (Boz atau Ketua) 100 % tapi untuk bawahannya (Anggota) cukup separuhnya saja alias 50 % nya.

Dan yang kita pernah dengar pula dalam persidangan korupsi terungkap kalau setoran dalam mata uang dolar Amerika disebut dengan Apel Amerika, namun bila setoran dalam bentuk nilai rupiah cukup dengan sebutan Apel Malang.

Demikian juga untuk kreatifitas penyamaran nama penerima maupun pemberi setoran. Agar susah ditebak oleh lembaga anti rasuah agar sulit terlacak jika telephone keduanya disadap, maka istilah-istilah keren seperti Mike Ghifer, Superman, Spiderman, Kapten Amerika, Badman dan lain sebagainya digunakan.

Pepatah lama mengatakan, sepandai-pandainya tupai meloncat namun sekali waktu jatuh juga. Dan kini telah terbukti bahwa, banyak pejabat daerah (dari Gubernur hingga Walikota) tertangkap tangan terima suap pengurusan izin lokasi.

Ketua dan Anggota lembaga tertentu tersandung masalah gratifikasi uang ketok palu, Hakim dan Panitera tertangkap tangan oleh KPK terima suapan dana dari yang berperkara dan sebagainya.

Bahkan belakangan banyak yang kena ciduk KPK gara-gara pengakuan dan kesaksian terdakwa korupsi yang menyanyi merdu setelah berpredikat Justice Collaborator (JC). Hikmahnya jelas, bak menangkap ikan tapah dengan umpannya anak lele sangatlah tepat diterapkan.

PERLUNYA REVOLUSI MENTAL
Dalam suatu organisasi, apakah dalam bidang politik, pemerintahan maupun perusahaan baik plaat merah, kuning maupun plaat hitam budaya setoran ini menjadi ukuran berhasil tidaknya seseorang menduduki jabatan basah di strata yang anggarannya besar.

Penerapan budget oriented seakan memaksa agar anggaran yang telah disetujui Pemerintah atau Direksi perusahaan harus habis dalam waktu satu tahun anggaran berjalan.

Walau secara jujur, terbuka dan jelas untuk jabatan tertentu, memerlukan keahlian maupun kopetensi tertentu namun semua itu bisa di kalahkan oleh keahlian seseorang itu “mencarikan dan menyetorkan” uang atau barang itu tadi.

Dan bahkan, saking nekatnya kadang-kadang ada oknum tertentu mengabaikan resiko jabatan yang boleh jadi akan ada sanksi pidananya.

Rupanya gaji besar yang telah diberikan oleh negara atau oleh perusahaan tempat dia bekerja tidak menjamin seseorang itu jujur dan tidak korupsi.

Karena telah ada beberapa orang menteri, gubernur, bupati, walikota, direktur yang terkena OTT oleh KPK selama tahun 2020 saja benar-benar menjadi bukti, bahwa budaya pungli atau lebih keren lagi sebagai budaya “pemburu fee” merupakan penyakit mental yang harus dikikis habis.

Dengan rompi oranye mereka digiring aparat KPK kemobil tahanan namun dari wajah, penampilan dan ucapannya mereka seakan tidak berdosa, dan selalu berusaha mencari pembenaran semu.

Ternyata kejujuran dan mental tidak korupsi itu menjadi barang langka sekarang ini dan bahkan keberadaanya akan dimusuhi oleh oknum koruptor.

Sehingga suburnya praktek korupsi ini dimana-mana dan akan semakin ampuh jika lapisan atas organisasi (atasan) memang senang dan menginginkaan setoran dari bawahannya.

Dan tidak usah heran jika kelompok korup ini berhimpun dalam satu kesatuan yang organisasinya sulit dimasuki orang lain yang tidak “sepaham” dan tidak sealiran korup. Fungsi internal audit kadang kala menjadi tumpul, karena kelompok ini punya cara-cara jitu menaklukkannya.

Hanya saja kurang elok jika perbuatan jelek semacam ini disebut berjamaah. Lebih paas kalau mereka disebut pelaku “keroyokan” dalam mengemplang uang rakyat.

Negara akan aman dan fokus mensejahterakan rakyatnya jika pemimpinnya amanah memegang janji dan sumpah. Sehingga semboyan : “kerja, yes. Setoran, No !” itulah yang harus dibudayakan sebagai prinsip.

Syarat integritas seseorang untuk diangkat dan menduduki jabatan tertentu adalah mutlak, dan bukan hanya ditunjukkan kepada secarik kertas yang bernama “Fakta Integritas” itu saja tapi benar-benar rekam jejaknya bahwa Ybs itu benar-benar bersih merupakan hal yang tidak dapat ditawar.

Bila ahlaqnya bersih, perbuatannya bersih dan insyaAllah hasilnya juga bersih. Uang rakyat harus kembali kepada rakyat, dan itu merupakan amanat dalam gerakan revolusi mental.

Untunglah negara kita saat ini dipimpin oleh seorang-“nachoda” yang bersih, dan untung pula ada KPK sebagai lembaga anti rasuah yang sangat perlu kita dukung usaha dan perjuangannya guna melenyapkan budaya setoran (pungli) yang menjadi momok kehancuran bangsa dengan lebih giat Membangun Kesadaran Seluruh Elemen Bangsa dalam Budaya Antikorupsi***). Goeril

Bagikan Berita :

Populer