Opini
MENGENANG: SATU ABAD BATU BARA TANJUNG ENIM
Oleh : M. Goerillah Tan (Pemerhati Lingkungan)
SEBAGAI KATA ORANG BIJAK, bahwa mengenang perjuangan para sesepuh kita terdahulu adalah sebuah keniscayaan yang dapat menginspirasi para penerusnya untuk melanjutkan perjuangan yang telah dirintis menjadi lebih baik lagi.
Dan hal itu terjadi pula kepada batu bara yang banyak tersimpan di bumi Serasan Sekundang, persisnya di Tanjung Enim.
Pada periode tahun 1923 hingga 1940, Tambang Air Laya yang dikelola perusahaan Belanda mulai menggunakan metode penambangan bawah tanah. Dan pada periode tersebut mulai dilakukan produksi untuk kepentingan komersial, tepatnya sejak tahun 1938.
Namun sebelum itu batu bara telah dimanfaatkan oleh warga masyarakat Tanjung Enim sebagai bahan bakar di dapur-dapur keluarga. Sejalan dengan perkembangan zaman, kemajuan teknologi dan tingkat kecerdasan berfikir anak-anak pada zamannya lebih fokus memaksimalkan usaha untuk hidup lebih baik, apalagi kehidupan dimasa penjajahan yang serba sulit. Perlu usaha yang kreativ.
Adalah kakek buyut kami yang nama kecilnya Rebangun, lahir pada tahun 1838 didesa Asam Kelat (sekarang Singapure) Ogan Komering Ulu yang dimasa balitanya menjadi yatim kemudian dibawa hijrah oleh buyut perempuan mengikuti buyut laki sebagai “sambungan” di Tanjung Enim.
Dan di Tanjung Enim inilah kakek Rebangun yang masih balita memperoleh saudara tiri 2 orang yakni Renajab dan Benasib sebagai buah perkawinan buyut perempuan dari Ogan tersebut.
Kakek Rebangun yang kian besar mampu mengasuh adik-adiknya dengan baik, dilatihnya belajar berenang di sungai Enim dan dengan imajinasinya dia mulai tertarik dengan adanya lapisan batu berwarna hitam ditepi dan didasar sungai Enim.
Lalu dicobanya menggali batu bara yang tersingkap oleh gerusan air sungai yang bening selalu deras mengalir.
Dari tangan-tangan mereka terkumpul batu bara yang bermutu bagus cukup banyak Lalu dimasa remajanya itu pula kakek Rebangun mengajak adik-adiknya membuat rakit bambu dan memuatinya dengan batu bara yang digali dipinggir sungai tersebut untuk dibawa berlayar ke Palembang mengarungi sungai Enim, Lematang dan Musi.
Pelayaran disungai yang cukup melelahkan hingga 10 hari lebih, namun tak menyurutkan semangat ketiga remaja tersebut. Dan di Tanggo Buntung Palembang rakit bambu yang dinachodai kakek Rebangun dibantu adik-adiknya mendarat.
Batu bara dibeli oleh Wan Abud saudagar Arab dan bambu-bambunya dibeli oleh Toke Cina Atjuan yang memproduksi lampion di kawasan Tanggo Buntung.
Demikian masa mudanya kakek Rebangun dan adik-adiknya berjuang dan berikhtiar dibidang perdagangan guna mendapatkan gulden Belanda pada masa penjajahan itu. Diusia 20 tahun kakek Rebangun telah berkeluarga dengan mempersunting gadis pujaannya dari Muara Enim. Menurut catatan keluarga bahwa nenek adalah dari rumpun keluarga Pangeran Danal yang kala itu sangat disegani Belanda.
SUNGAI ENIM UNTUK TRANSPOT
Dari perkawinan kakek Rebangun dengan nenekda dari Muara Enim inilah lahir putra putrinya sebanyak 3 pasang yakni : Damang (sulung), Nangcik dan Tjik Olah (bungsu) serta 3 saudara perempuan lainnya.
Sejak itulah kakek Rebangun makin dikenal oleh pemerintah dan pengusaha Belanda karena usaha penjualan batubaranya dengan rakit berhasil baik dan lancar sehingga kekek menjadi pengusaha batu bara yang sukses dan bonafide kala itu.
Hingga beberapa tahun kemudian sekitar tahun 1860an kakek terpilih sebagai Kerio Tanjung Enim dan saking lamanya beliau menjabat (lebih dari 35 tahun) predikat nama beliau menjadi Rebangun Kerio.
Sebutan Kerio itu menjadi merek dagang kakek sebagai pengusaha batubara yang sukses. Sebelum kemerdekaan kakek Rebangun Kerio pergi haji katanah suci dengan kapal laut masa itu memerlukan waktu sekitar 4 bulan perjalanan.
Sepulangnya ketanah air kembali kakek Rebangun mendapat “gelar baru” sebagai H. Abdurahman yang mampu pula memotivasi putra putrinya untuk berhaji selagi usia muda.
Salah seorang putra kakek Rebangun Kerio ini adalah siputra bungsu yang bernama Tjik Olah berhasil pula melanjutkan usaha batu bara sang ayah yang selama bertahun selalu ikut berlayar dengan rakit bambu ke Palembang.
Seusai menjual habis batu bara berikut rakitnya, sang putra bungsu dan kakek Rebangun selalu setia pulang ke Tanjung Enim dengan naik sepur dari Kertapati.
Perjalanan rakit hampir 13 hari ditambah perjalan sepur kala itu hampir pula 3 hari menjadikan kesibukan tersendiri bagi Tjik Olah muda yang pada usia 20 tahun pula berhasil mempersunting seorang gadis nan jelita dari desa tepi Lematang yakni, Penanggiran yang menjadi ibu kandung penulis.
Ibunda Mursihu, bukan perempuan biasa.Dia sangat patuh dan setia kepada suami dan Dia gigih pula mengasuh, membesarkan anak-anaknya sebanyak 10 orang. Namun dengan kesibukan itu tidak mengurangi aktivitasnya untuk membantu suami yang kala itu telah menjadi pegawai TABA dan tidak lagi dapat melakukan penjualan batu bara dengan rakit.
Ayahda yang pegawai merangkap petani dan ibunda yang petani merangkap pedagang selalu rukun dan damai. Hal ini terjadi sejak penambangan batu bara secara komersil oleh TABA dengan dibukanya Tambang Air Laya sekitar tahun 1930an dalam masa penjajahan.
Terpaksa rela menjadi pegawai TABA namun Ayahda turut memperjuangkan kemerdekaan dengan menjadi kader PNI yang selalu menyuarakan kemerdekaan Indonesia melalui jalur politik yang di pimpin sang proklamator Bung Karno dan Bung Hatta.
Khusus di Sumatera Selatan ayahda Tjik Olah selalu mengikuti gerak langkah perjuangan Dr. A.K Gani yang gigih berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Dan dimasa-masa perjuangan itulah kaum politisi seperti ayahda sering ditangkap Belanda dan internir seperti Bung Karno.
Ayahda diinternir dibeberapa tempat seperti pernah di Bengkulu dan pernah pula di Boom Baru Palembang. Bahkan sewaktu kelahiran putranya yang ke 8 (Muhammad Goerillah) tahun 1950 yakni masa agressi Belanda ke 2.
Kala itu (sejak Agst 1949) masih diinternir di Boom Baru sehingga kelahiran putra ke 8 itu ibunda Mursihu berjuang dalam kesendirian antara hidup dan mati.
Kebetulan pula musim durian kala itu, ibunda secara adat ditugasi menunggu durian jatuh dikebun Pugok diseberang Lematang (Tanjung Pandan) dengan didampingi oleh putranya yang kedua (Muhammad Thamrin) yang kala itu baru berusia 13 tahun masih SMP (sore).
Persis dibulan Maulud itu tanggal 8 Januari 1950 putra ke 8 itu lahir dengan keadaan yang serba darurat ditengah kebun durian, jauh dari fasilitas kesehatan, jauh dari bidan apalagi dokter.
Sanitasi apa adanya saja, hanya Allah yang memberinya kemudahan.Dengan usaha dan perjuangan sang kakak Thamrin sang dukun berhasil dijemput dengan perahu menyeberang sungai Lematang karena bidan desa itu dari Ulak Bandung.
Dengan berperahu, si Thamrin kecil mendayung menyeberangi Lematang. Alhamdulilah kelahiran yang diridhoiNya berjalan baik dan lancar. Tembuni dan ari-ari sang putra dibersihkan dan dihanyutkan di sungai Lematang yang tenang mengalir.
Pada awal tahun 1955, kala itu usia penulis baru 5 tahun kakek Rebangun tercinta wafat dalam usia 117 tahun menyusuli nenek yang wafat dalam usia 105 tahun.
Kakek Rebangun Kerio selalu kami kenang. Walau usia penulis masih tergolong anak-anak kala itu, tapi ada suatu ungkapan kata yang terngiang ditelinga “cucungku goerillah, jadilah jeme besak yooo “ dan selalu kata-kata itu penulis ingat bak pepatah; tak lapuk dihujan dan tak lekang dipanas.
Demikian jika kata-kata bersayap itu dibisikkan dengan ikhlas dan doa tentu menjadi berkah diperjalanan hidup seorang cucu. ***) Goeril