Opini

Wisata sejarah: “KISAH KASIH TANJUNG ENIM”

Published

on

Oleh : Muhammad Goeril (pemerhati lingkungan)

ADAT MUDA Menanggung rindu, adat tua menanggung iba. Sebuah pepatah lama yang kian terbukti kebenarannya, terutama bagi yang arief dan bijaksana: menghargai kisah sejarah masa lalu sebagai pedoman hidup dan kehidupan kita di zaman now.

Sepatutnya kita rajin mencatat agar catatan itu bisa dibaca orang lain terutama anak cucu karena masa demi masa akan datang dan pergi silih berganti.

Dimana kala muda kita pernah dilanda rasa rindu yang berat kepada sang kekasih, namun tatkala menjadi tua bersemi perasaan iba atas bagaimana gerangan nasib generasi penerus dan sebagainya.

Dibidang keuangan, kebiasaan mencatat ini sangat perlu. Bahkan baru-baru ini Menteri Keuangan Sri Mulyani merisaukan adanya asset pemerintah yang dibangun dizaman Orde Baru menjadi raib karena tidak dicatat dengan baik dan tidak pula dilakukan kapitalisasi sebagaimana lazimnya sehingga kesulitan dalam pembuktian hukumnya.

Bermula dari asal usulnya kota Tanjung Enim sekarang ini tidak terlepas dari adanya catatan yang mampu ditinggalkan oleh para puyang pendahulu kita, dan kitapun kelak akan menjadi pula puyang bagi generasi yang akan datang.

Untuk itulah catatan terdahulu kita olah semampu mungkin dan harus dapat pula menyem purnakannya dengan kemajuan teknologi digital yang ada, yang dapat menyalin kata dan gambar lebih baik dan mudah.

Bahwa asal muasalnya Tanjung Enim itu menurut buku catatan Tim tahun 2014, dari kata: Kute Tanjung Ayek Hening (KTAH) yakni “kota disemenanjung air yang bening”.

Dan menurut permufakatan para puyang dahulu itu untuk sebutannya adalah puyang Dusun Ilir yang mendiami wilayah Kute Tanjung Ayek Hening. Dan untuk wilayah diatasnya (dihulu sungai) disebut dengan dusun uluan (jeme uluan).

Sayangnya tempo doeloe itu belum ada dokumen (catatan atau gambar/foto) yang dapat menggambarkan keadaan masa itu sehingga rekaan yang persis tidak ada.

Kalau kita coba telisik, memang sekitar abad 7 – 8 Masehi, pada masa kerajaan Sriwijaya yang terkenal saat itu sebagai kerajaan maritim terbesar sehingga wilayah kekuasaanya sangat luas hingga ke Madagaskar dan India.

Sungai-sungai di Sumatera Selatan saat itu benar-benar menjadi infra struktur bagi transportasi air. Sungai Enim saja kala itu dapat dilayari dengan baik dan lancar hingga benar-benar sampai kehulu tulungnya (lokasi asal sungai).

Kalau gambaran sekarang kira-kira ulu tulungnya hingga area air terjun Bedegung. Dulu itu pula sungai Enim yang dapat dilayari oleh kapal-kapal dagang besar dari Arab, India dan Eropah sampai ke hulunya lagi sungai Muara Emil (Mehimil) Kecamatan Tanjung Agung sekarang.

Dan bahkan menjadi terkenal pula Sungai Emil dengan adanya lokasi air terjun Napal Carik yang menyimpan kisah kasih seorang putri. Dilokasi ini pula menurut cerita orang-orang tua terdahulu adalah tempat persembunyian Putri Dayang Rindu.

LOKASI PEMUKIMAN KTAH

Perkiraan letak lokasi Kute Tanjung Ayek Hening (KTAH) kira-kira sekarang ini adalah di area PLTU Sumsel 8 (2 x 620 MW) yang merupakan PLTU mulut tambang terbesar di Asia Tenggara.

Pada masa dulu itu, dilokasi PLTU tersebut sudah ada kehidupan masyarakat di sekitar Kute Darussalem yang terletak di seputar Air Strip (pelabuhan kapal terbang) yang boleh jadi kira-kira letaknya sekarang disekitar desa Tanjung Lalang kecamatan Tanjung Agung Muara Enim (lokasi PLTU Bangko Barat, Sumsel 8 milik PTBA Tbk).

Diwilayah sekitarnya itu juga dulu banyak perkampungan yang berbatasan sebelah Utara dengan Kabupaten OKU dan Selatan dengan Kabupaten LIOT.

Namun kini perkampungan tersebut sudah hilang, meskipun bukti-bukti sejarah peninggalan masih seringkali ditemui. Misalnya, seringkali terdengar suara bunyi-bunyi tabuh-tabuhan keromongan dan kokok ayam.

Daerah tersebut waktu itu masih termasuk wilayah kekuasaan Adipati Carang Sakti (Rie = Kerio Carang). Bunyi-bunyian tersebut hingga sekarang masih dapat dibuktikan, bahwa masih ada, yakni tatkala kita sedang berada disungai Enim pada malam hari sekitar pukul 10.00 WIB keatas.

Akan sayup-sayup terdengar bunyi tabuh-tabuhan tersebut seiring dengan semilirnya angin malam mengikuti arah air sungai mengalir. Terkadang jika sendirian disungai Enim itu terasa merinding bulu roma disugesti oleh sapaan sakti puyang-puyang tempo doeloe yang melegenda diantara sentuhan dingin sang angin yang merasuki rasa takut..

PUTRI DAYANG RINDU NAN JELITA

Merupakan putri tercinta dari Rie Carang yang sakti mandraguna itu sejak kecil selalu saja menangis.Karenanya Rie Carang tak sampai hati mendengar tangisan nya yang menyayat qolbu sehingga pada kesempatan yang baik dia pergi kedesa Muara Emil untuk menemui puyang Tanjung, puyang Mateauh dan puyang Dusun Ilir agar dapat memberikan nama kepada putrinya supaya tidak selalu menangis lagi.

Dan dari ketiga puyang tersebut hanya puyang Dusun Ilir yang terdetak hatinya untuk memberikan nama yang cocok untuk sang putri, yakni Putri Dayang Rindu.

Syukur alhamdulilah begitu ditabalkan nama dimaksud sang putripun berhenti menangis dan disambut rasa gembira Rie Carang sekeluarga.

Siputripun beranjak besar dan menjadi gadis cantik nan jelita, sehingga beritanya menjadi viral dari mulut kemulut hingga sampai pula beritanya ke Palembang Darussalam yang kala itu telah menjadi kesultanan.

Menurut cerita yang masih dapat dikisahkan oleh penduduk desa Muara Emil dari para puyang, bahwa salah seorang Sultan Palembang kala itu pernah meminta kepada seluruh masyarakat desa terutama yang berada di sepanjang aliran Sungai Batanghari Sembilan (SBS)

Yakni; antara lain Musi, Lematang dan Sungai Enim untuk mengumpulkan telur yang akan digunakan sebagai perekat pembangunan benteng pertahanan. Dalam perjalanan pengumpulan telur, Sultan melihat banyak gadis-gadis desa yang cantik mandi disungai dan Sultanpun berniat mempersunting salah satunya sebagai istri.

Setelah para prajurit dan hulubalang mengumpulkan para gadis dimaksud tidak satupun yang cocok sampai akhirnya Sultan menemukan sebuah baki emas yang hanyut (wadah keramas Putri Dayang Rindu).

Dan Sultanpun memerintahkan prajuritnya untuk mencari pemilik baki emas tersebut. Setelah ditelusuri ternyata pemiliknya adalah anak gadis Rie Carang. Sultan pun menyampaikan keinginannya untuk meminang sang Putri, tetapi ditolak oleh Rie Carang dan putrinya.

Merasa ditolak Sultan pun marah dan sempat terjadi perkelahian tetapi ternyata Rie Carang dan putrinya yang sakti dapat lolos dari serangan sang Sultan.

Dalam pelariannya Putri Dayang Rindu bersembunyi di dalam hutan di Desa Muara Emil tepatnya di lokasi air terjun Napal Carik. Sang putri setiap saat mandi dikolam yang bening, airnya mengalir tenang dari Sungai Emil, Enim, Lematang hingga sampai kesungai Musi.

Karena itu gadis-gadis yang mandi disepanjang aliran sungai Enim tersebut menjadi cantik dan menawan berkat kharisma sang Putri Dayang Rindu yang jelita. Ayo mari kita berwisata sejarah masa lalu.***

Bagikan Berita :

Populer