Opini
Hukum Lemah Untuk Koruptor Desa
Oleh Iskandar Dinata
Aneh tapi nyata, itulah ungkapan yang tepat dengan kondisi negeri ini. Keadilan sangat sulit di cari, penyimpangan dan penyelewengan seakan sudah menjadi kewajiban yang harus di tutupi. Korupsi semakin tumbuh subur di negeri ini, khususnya di kabupaten Lahat yang katanya kabupaten bercahaya.
Dana desa yang merupakan program pemerintah yang katanya untuk mensejahterakan masyarakat desa, di harapkan bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, tapi malah menjadi ajang perlombaan untuk menumpuk kekayaan pribadi bagi kebanyakan pelaksana kebijakan yakni pemerintah desa.
Kades yang sebelum nya ketika hendak mencalonkan dirinya sebagai calon kepala desa, dengan keadaan ekonomi apa adanya, bahkan biaya pencalonannya harus melelang beberapa harta bendanya, menunjukan sebelum jadi kepala desa merupakan sosok seseorang yang keadaan perekonomian nya biasa-biasa saja tapi setelah menjabat ekonomi jadi luar biasa.
Jabatan kepala desa menjadi ajang menumpuk harta, beli tanah dimana-mana, beli mobil sesuka hati hingga bangun rumah bagaikan istana raja. Anehnya, itu semua mampu mereka dapatkan dalam kurun waktu yang relatif singkat, walaupun sebagian dari mereka tidak mempunyai usaha. Pertanyaannya adalah dari mana sumber nya?
Silahkan masyarakat menilai, sependapat atau tidak, kalau kami menduga sumbernya dari uang dana desa.
Berangkat dari hal itulah mengapa kami MASYARAKAT, berupaya menghentikan tindakan pemerintah desa yang leluasa menyimpang kan dana desa dalam rangka menumpuk kekayaan pribadi nya, dengan melapor kan kepada pihak-pihak yang kami anggap mempunyai kewenangan dalam menanganni permasalahan yang terjadi di desa kami, yaitu Inspektorat dan Kejaksaan Negeri Lahat.
“MENTAL KULI” sepertinya layak disematkan kepada Inspektorat, bereaksi kala ada aksi, diam kalau tidak ada gerakan. Wajar lah kalau korupsi menjadi-jadi, bagaimana tidak menjadi-jadi? kalau upaya pencegahan tindak korupsi minim sekali, terbukti ketika ada yang melapor kan indikasi korupsi, bukannya negara menindak lanjuti, malah ada semacam upaya melemahkan dan mematah kan apa yang di lapor kan. Kalau bukan karena aksi, entah apa yang terjadi.
Kejaksaan Negeri Lahat responsif menanggapi laporan dan pengaduan, memberikan harapan bahwa kasus korupsi dapat segera di tindak lanjuti, sebagai bukti bahwa keadilan dan kebenaran masih bisa di tegakan, menjawab pertanyaan “kemana kah keadilan kami cari?”.
Namun saya masih menyimpan segudang keraguan terhadap Kejaksaan dan bukan berarti menyalahkan, sebab apa yang di sampaikan Kejaksaan bahwa nilai kerugian negara yang di korupsi kan tidak signifikan maka tidak bisa di tindak, maka yang perlu di pertanyaan “waraskah yang bikin aturan”.
Akan tetapi, coba Kejaksaan lebih cermati lagi dalam mengartikan, sebab menurut kami, berapapun nilai yang di korupsikan, korupsi tetaplah korupsi.
Karena kalau nilai korupsi harus signifikan supaya bisa di lanjutkan, maka bukankah sama hal nya dalam mengajarkan bahwa silahkan siapa saja yang untuk korupsi asalkan nilai yang di korupsi kan tidak signifikan.
Kasarnya, kalau mau korupsi jangan gede-gede ya!!!, korupsi lah 20 hingga 50 juta saja, siapa ya tidak menjadi kasus dan enggak jadi masalah.
Kalau begitu enak dong, hari ini bapak nya korupsi kisaran 30 juta, ibunya yang dinas itu korupsi 40 juta, dan anak nya yang instansi lain korupsi 30 juta.
Sehingga kalau di kumpul jadi satu, dalam satu hari satu keluarga bisa mendapatkan uang sebesar 100 juta. Bayangkan kalau ribuan pejabat Indonesia menerapkan hal serupa, kemudian rakyat menuntut kesetaraan dalam penanganan tindakan pencurian, karena menganggap nilai pencuriannya jauh dari kata signifikan, maka apa yang terjadi dengan negeri ini?.
Harapan saya selaku masyarakat pemerintah daerah sampai ke desa hendaklah menjalankan aturan sesuai dengan amanah dan sumpah supaya kabupaten kita bisa benar-benar bercahaya.***